REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai kebijakan pemerintah menghentikan impor jagung cenderung dipaksakan karena berdampak pada meningkatnya impor gandum dan harga pakan.
Direktur Indef Enny Sri Hartati mengatakan pemerintah belum saatnya mengentikan impor jagung karena kebutuhan jagung di Indonesia belum terpenuhi sehingga harus disubstitusi oleh komoditas lain, yakni gandum.
"Memang terjadi penurunan impor jagung, tapi dipaksakan. Karena ada kebijakan untuk tidak mengimpor jagung ya impornya turun. Tapi begitu jagung ditekan, impor gandum malah meningkat drastis," kata Enny, Senin (10/7).
Enny menjelaskan kebutuhan jagung yang belum terpenuhi tersebut, selain untuk konsumsi, juga berdampak pada peningkatan harga pakan ternak sekitar 20 persen.
Kebijakan menghentikan impor jagung yang dikeluarkan Kementerian Pertanian itu juga dinilai terlalu mendadak sehingga 483.185 ton jagung impor sempat tertahan di pelabuhan.
Selain jagung, Indef mencatat pemerintah masih mengimpor beras sebanyak 94.000 ton selama Januari hingga Mei 2017 menurut data Pemberitahuan Impor Barang Ditjen Bea Cukai.
Data PIB juga menunjukkan selama 2016, impor beras Indonesia sebesar 1,3 juta ton, padahal pemerintah telah meningkatkan anggaran dan subsidi untuk produktivitas padi atau beras.
Adapun pemerintahan Jokowi-JK menargetkan swasembada sejumlah komoditas pangan strategis, antara lain padi, jagung, kedelai, dan gula dapat tercapai dalam waktu tiga tahun.
Demi mencapai target tersebut, anggaran kedaulatan pangan melonjak hingga mencapai 53,2 persen dari Rp67,3 triliun pada 2014 menjadi Rp103,1 triliun pada 2017 yang masuk dalam anggaran APBN program strategis kedaulatan pangan di Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian PUPR dan Kementerian Sosial.
Namun, tingginya alokasi anggaran tersebut dirasa belum optimal dalam mewujudkan kedaulatan pangan karena sebagian komoditas masih harus diimpor.