Jumat 27 Sep 2019 15:43 WIB

Kementan Selaraskan Data Produksi Jagung

Kementan menargetkan produksi jagung nasional sebesar 33,957 juta ton hingga 2020.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Petani menjemur jagung untuk pakan ternak di Simpang, Berbak, Tanjungjabung Timur, Jambi, Minggu (1/9/2019).
Foto: ANTARA FOTO
Petani menjemur jagung untuk pakan ternak di Simpang, Berbak, Tanjungjabung Timur, Jambi, Minggu (1/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) berkomiten bakal menyelaraskan data produksi jagung nasional. Penyelarasan data tersebut melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS) beserta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan Agung Hendriadi menyatakan, pihaknya belum dapat menyebutkan total prediksi produksi jagung jelang akhir tahun ini dan masa panen di 2020. Hal itu karena data produksi yang ada belum diharmonisasikan secara kumulatif dari lembaga-lembaga terkait.

Baca Juga

Padahal sebelumnya, Kementan menargetkan produksi jagung nasional sebesar 33,957 juta ton hingga 2020. “Saya belum berani mengakumulasikan berapa produksinya, takut salah. Kan harus diselaraskan dulu dengan lembaga-lembaga lain,” kata Agung kepada Republika di Gedung Kementan, Jumat (27/9).

Menurut dia, yang terpenting saat ini stok jagung berada dalam posisi stabil dan aman. Baik itu stok yang berada di gudang Bulog, petani, maupun masyarakat. Hanya saja untuk estimasi sementara, pihaknya menargetkan produksi diperkirakan turun dari jumlah awal yang sebesar 33,957 juta ton, menjadi 29 juta ton.

Lebih lanjut, Agung mengatakan, target produksi itu tak akan membuat kebutuhan jagung nasional terpangkas. Alasannya, dengan tingkat kebutuhan jagung sebesar 17 juta ton maka estimasi prediksi produksi sebesar 29 juta ton mampu menutup kebutuhan.

“Sekarang yang cadangan di Bulog setahu saya sudah cukup (memenuhi kebutuhan) sampai akhir tahun,” ungkapnya.

Agung mengakui, pasokan jagung yang tersedia saat ini merupakan suplai importasi tahun lalu sebesar 90 ribu ton. Kebijakan impor tersebut berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan Kementan pada November 2018 dan realisasinya dilangsungkan pada awal 2019 dan terus masuk hingga ke Maret.

Hanya saja pihaknya menegaskan, meskipun pemerintah mampu menyediakan suplai jagung melalui mekanisme impor, dipastikan tahun ini hingga awal tahun depan kebijakan impor tak akan dikeluarkan lagi. Agung berasumsi, dengan kebutuhan jagung yang ada dan juga panen raya yang akan berlangsung pada Februari hingga Maret tahun depan, produksi mampu mencukupi kebutuhan nasional.

Berdasarkan catatan BPS, data impor jagung pada 2018 mencapai 737.228 ton dari tiga negara yakni Argentina sebanyak 326.580 ton, Brasil sebesar 222.578 ton, dan Amerika Serikat sebesar 186.142 ton. Agung optimistis pemerintah mampu meningkatkan produksi jagung tahun ini dan tahun depan.

Hal itu karena tanaman jagung, menurutnya, merupakan tanaman yang tidak begitu terdampak oleh kemarau dan bencana kekeringan. Sehingga dia mengklaim, saat ini banyak petani yang merasa gembira membudidayakan tanaman jagung karena harga jualnya sudah cukup baik.

“Harga jagung (petani) juga baik, senang petani sekarang tanam jagung. Jadi enggak perlu khawatirlah, aman dan enggak impor-imporan,” kata Agung.

Hal senada disampaikan Sekretaris Perum Bulog Awaludin Iqbal. Menurutnya, stok jagung di gudang Bulog saat ini masih dalam posisi aman berkat suplai impor yang masuk.

Hanya saja dia mengakui, Bulog juga terus melakukan penyerapan jagung petani apabila terdapat panen di sejumlah wilayah sentra produksi.

“Memang kami masih impor, tapi kami juga masih menyerap jagung petani. Bulog kan operator, kalau disuruh ngimpor dan ada penugasannya, tentu kami laksanakan,” kata Awaludin.

Di sisi lain Awaludin menjelaskan, kebutuhan jagung tergantung dari tren konsumsi pabrik pakan ternak. Sehingga apabila produksi peternakan berada dalam tren yang mulus, maka jumlah penyaluran jagung Bulog pun akan mengikuti perkembangan pasar.

“Kami itu enggak bisa memperkirakan jumlah kebutuhan jagung segini segitu, karena kan yang mengkonsumsi ini hewan ternak. Jadi tergantung bagaimana produksi peternakan juga,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement