Kamis 08 Jun 2017 18:15 WIB

'Tanpa Kerja Sama Global, Orang Kaya Mudah Hindari Pajak'

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Menteri Keuangan Sri Mulyani
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Menteri Keuangan Sri Mulyani

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan pentingnya kerja sama perpajakan yang dijalin Indonesia dengan negara lain. Menurutnya, tanpa kerja sama internasional maka 1-5 persen kelompok ekonomi terkaya di Indonesia bisa dengan mudah melakukan penghindaran dan pengelakan pajak. Itulah alasan Sri terbang ke Paris, Prancis untuk ikut menandatangani Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) di kantor pusat OECD.

Sri menjelaskan, MLI merupakan modifikasi pengaturan tax treaty secara serentak, sinkron-simultan dan efisien, tanpa melalui proses negosiasi bilateral. Dengan 68 negara yang ikut menandatangani hari dan akan segera disusul 30 negara lain, menurutnya, maka Indonesia dapat mengamankan penerimaan pajak dengan mencegah penghindaran pajak dalam bentuk penyalahgunaan tax treaty, penghindaran yang dilakukan Bentuk Usaha Tetap dengan memecah fungsi organisasi, memecah waktu kontrak, rekayasa kontrak, serta rekayasa kepemilikan yang bertujuan menghindari kewajiban perpajakan di Indonesia.

Menurut Sri, MLI merupakan upaya bersama secara global untuk mencegah praktik-praktik yang dilakukan wajib pajak atau badan usaha untuk mengalihkan keuntungan dan menggerus basis pajak suatu negara atau disebut sebagai "base erosion and profit shifting". "Kita harus terus menerus berjuang untuk memerangi penghindaran dan pengalihan pajak oleh pembayar pajak Indonesia, termasuk melalui pengumpulan informasi perpajakan, baik yang ada di Indonesia maupun yang ditempatkan dan disembunyikan di luar Indonesia," kata Sri dalam sebuah foto yang diunggah di akun media resmi miliknya, Kamis (8/6).

Sri menyebutkan, pemerintah Indonesia serius dalam memasuki era keterbukaan informasi keuangan untuk perpajakan pada 2018 mendatang. Teranyar, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2017 yang dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 70 tahun 2017. Aturan primer dan sekunder tersebut mengatur implementasi teknis mengenai pertukaran informasi keuangan, termasuk batas saldo yang wajib dilaporkan oleh perbankan kepada otoritas pajak. Bagi nasabah dalam negeri misalnya, perbankan wajib melaporkan data nasabah yang memiliki saldo di atas Rp 1 miliar.

Sebelumnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Aturan ini diterbitkan untuk memenuhi syarat yang diberlakukan oleh OECD, bahwa setiap negara yang ingin bergabung dalam era keterbukaan informasi keuangan (AEoI) harus memiliki aturan primer dan sekunder yang memberikan panduan prosedur pertukaran informasi. Aturan primer melalui Perppu dan aturan sekunder melalui PMK harus terbit sebelum Juni 2017, agar Indonesia bisa bertukar informasi perpajakan dengan 99 negara lain dunia yang menerapkan AEoI pada 2017 dan 2018 mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement