REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan mengatakan pada umumnya dana hasil dari pungutan premi untuk restrukturisasi perbankan mencapai dua hingga tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Itu berdasarkan kajian secara historis, biaya yang dikeluakan untuk penyelamatan bank mencapai kisaran itu," kata Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan usai peluncuran buku Kajian Sistem Keuangan (KSK) di Jakarta, Rabu (24/5).
Namun, menurut Fauzi, hingga saat ini LPS maupun Kementerian Keuangan belum menemui kata sepakat untuk besaran premi restrukturisasi perbankan (PRP). Besaran PRP juga akan didiskusikan oleh pemerintah, regulator, dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan. Fauzi mengatakan premi PRP juga nantinya akan berdasarkan dana yang dibutuhkan saat pemerintah merestrukturisasi perbankan dan sistem keuangan pasca-krisis 1998.
Premi restrukturisasi perbankan (PRP) merupakan wewenang yang diberikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai amanat Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Besaran premi tersebut masih dibahas oleh LPS dan Kementerian Keuangan dan nantinya akan dilegalisasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Sebelum PRP, LPS juga sudah memungut premi simpanan kepada perbankan setiap tahunnya.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo meminta rencana pengenaan premi tambahan untuk restrukturisasi, jangan semakin memberatkan bank. Hal itu, karena premi restrukturisasi perbankan (PRP) dikhawatirkan dapat menghambat proses pemulihan kinerja perbankan setelah periode perlambatan pada 2016.
"Kalau terkait memungut biaya untuk program restukturisasi perbankan ataupun yang lain, kami harap tidak terlalu memberatkan bank karena mereka sedang dalam taraf pemulihan," ujar Agus.