REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengembangan industri halal di Indonesia relatif lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim lainnya. Oleh sebab itu, ekosistem bisnis halal harus dikembangkan oleh pemerintah.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini menjelaskan, berdasarkan data Thomson Reuters tahun 2016, skor indikator ekonomi lslam Indonesia berada di urutan ke-10. Malaysia berada di puncak.
Indonesia tertinggal cukup jauh terutama dari sektor keuangan, pariwisata, kosmetik dan farmasi. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan menengah di negara ini terus tumbuh.
"Dengan potensi pasar yang besar, banyak sektor potensial untuk dikembangkan menjadi industri halal di Indonesia, seperti makanan-minuman, fesyen, jasa dan pariwisata," ujar Hendri Saparini dalam Seminar ''Meraup Peluang Emas Bisnis Halal Global" di Jakarta, Selasa (23/5).
Menurut Hendri, jika dikelola dengan baik, semestinya potensi tersebut dapat menjadikan Indonesia sebagai pusat industri halal global. Oleh sebab itu, CORE Indonesia mencatat beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah untuk mengembangkan ekosistem bisnis Indonesia.
Pertama, pemerintah perlu mempercepat penyelesaian peraturan pendukung untuk Undang- Undang Jaminan Halal (UU PJH) yang telah disahkan sejak tahun 2014. Namun sampai tenggat tahun 2016, Peraturan Pelaksana UU itu belum juga dibuat.
"Badan Pelaksana Produk Jaminan Halal (BPJH) yang harus dibentuk tahun 2017 pun belum terdengar kabarnya. Tanpa kedua hal itu, UU PJH tidak akan dapat diimplementasikan," kata Hendri.
Kedua, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas lembaga sertifikasi halal. Hendri menuturkan, saat ini jumlah perusahaan yang belum memiliki sertifikasi halal masih cukup besar. Berdasarkan data Kementerian Agama, dari tahun 2011-2014, produk yang bersertifikasi halal diperkirakan hanya 26 persen dari produk yang teregistrasi di BPOM.
Oleh sebab itu, ia menilai lembaga sertifikasi halal nantinya harus mampu melakukan proses sertifikasi secara cepat dan transparan. Jika perlu, lembaga sertifikasi tersebut dapat menggandeng Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) yang memiliki SDM dan infrastruktur yang cukup baik dan tersebar di seluruh provinsi.
"Proses yang dapat dibuat satu atap akan membuat pengurusan sertifikat halal menjadi lebih efisien," kata Hendri.
Ketiga, pemerintah perlu mendesain agar regulasi sertifikasi halal tidak menghambat kemajuan pelaku ekonomi khususnya pelaku UMKM. Oleh sebab itu perlu ada keberpihakan pemerintah agar kebijakan ini tidak memberatkan mereka. Salah satunya adalah memberikan subsidi pengurusan sertifikat halal kepada UMKM. Selain itu, biaya sertifikasi halal juga harus dibuat lebih transparan.
Menurut Hendri, standar biaya JAKIM di Malaysia bisa menjadi contoh bagaimana lembaga itu menetapkan biaya sertifikasi secara berbeda berdasarkan skala usaha. Pada kategori usaha produksi, logistik dan manufaktur, misalnya, usaha mikro dikenakan Biaya hanya RM100 atau sekitar Rp 300 ribu.
Sedangkan untuk industri kecil biayanya mencapai 400 ringgit atau sekitar Rp 1,2 juta. Adapun industri menengah dan multinasional masing-masing sebesar 700 ringgit dan 100 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 2,1 juta dan Rp 3 juta.
Keempat, pemerintah harus mendukung pertumbuhan industri halal domestik. Di antaranya dengan mengembangkan ekosistem industri halal. Pada industri farmasi misalnya, pemerintah perlu memfasilitasi riset dan pengembangan bahan baku halal untuk obat dan kosmetik.
Sebab, lebih dari 90 persen bahan baku obat masih diimpor. Selain itu, banyak dari bahan baku obat yang masih mengandalkan produk non halal seperti gelatin dan vaksin.
Untuk industri fashion, lanjut Hendri, meskipun saat ini telah mengalami pertumbuhan cukup pesat, pemerintah perlu mendorong industri ini dengan menciptakan ekosistem yang mampu meningkatkan kualitas produksi, mendorong pengembangan pusat riset, pusat produksi, dan pusat Belanja.
"Salah satu langkah praktis yang dapat ditempuh yaitu dengan menggelar pameran secara rutin yang berskala internasional," tutur Hendri.
Dukungan lainnya, kata Hendri, adalah oemebrian insentif fiskal. Di Malaysia, industri halal mendapatkan potongan pajak (Tax allowance) investasi dari pemerintah hingga 100 persen yang berlaku selama 10 tahun. Bahan baku industri tersebut juga dibebaskan dari bea masuk dan pajak penjualan.