Selasa 23 May 2017 03:50 WIB

Industri Pengolahan Ikan di Bitung Lesu

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Budi Raharjo
Ikan tuna. Ilustrasi
Foto: Reuters
Ikan tuna. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,BITUNG -- Peraturan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (Permen KKP) Nomor 57 tahun 2104 tentang larangan bongkar muat hasil perikanan di tengah laut (transhipment) sangat berpengaruh pada industri perikanan. Salah satu pusat perikanan yang mengalami kerugian adalah industri pengolahan ikan di Bitung, Sulawesi Utara.

Kepala Bidang Perencanaan Pengembangan Potensi dan Investasi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Francisca A Poeloe‎ mengatakan, Bitung sebagai daerah yang bergatung dengan industri pengolahan ikan sangat terpukul dengan adanya aturan dari KKP. Sebab beberapa aturan baru yang diterbitkan Menteri Susi Pudjiastuti membuat industri ini lesu.

"Di sini (Bitung) yang paling besar industrinya memang perikanan. Dan itu (permen KKP) boleh dibilang membuat industri lesu. Hanya sedikit industri yang bisa beroperasi," kata Francisca ditemui di kantornya, Senin (22/5).

Dengan anjloknya industri tersebut, maka perekonomian di Bitung juga mengalami imbas. Sebab, banyak masyarakat Bitung maupun luar Bitung yang menggantungkan pencahariannya pada industri ini. Mulai dari mereka yang bekerja di kapal, industri, hingga masyarakat sekitar pelabuhan yang memanfaatkan keberadaan kapal dengan berjualan makanan.

Francisca menjelaskan, industri pengolahan ikan yang berada di Bitung mengandalkan ‎bahan baku dari bongkar muat kapal perikanan yang diambil dari kapal asing yang lebih besar dan handal dalam menangkap ikan di perairan laut. Selain itu ada juga nelayan-nelayan kecil yang memberikan tangkapan mereka ke industri tersebut.

Walaupun larangan ini berdampak baik bagi nelayan kecil, tapi dampak besarnya justru terasa pada industri yang kekurangan bahan baku. Minimnya bahan baku akhirnya membuat sejumlah perusahaan pengolahan ikan di merumahkan pekerjanya, karena tidak ada produk yang bisa diolah tanpa bahan baku.

Dalam kurun waktu dua tahun peraturan ini berjalan, sedikitnya terdapat 9.000 karyawan perusahaan perikanan yang dirumahkan. Tujuh perusahaan perikanan terbesar di Indonesia yang ada di Bitung pun harus memangkas pekerja karena minimnya bahan baku ikan segar.‎ Jumlah ini belum ditambah dengan kerugian ekonomi yang ada di pelabuhan bongkar muat ikan.

Menurut Francicsa, sejak 2015 minat investor untuk berinvestasi di sektor ini pun sama sekali tidak ada. Padahal sebelum peraturan ini diberlakukan, masih ada investor yang tertarik melakukan usaha perikanan mereka di Bitung.

"Sekarang sudah tidak ada investasi baru. Perusahaan yang ada saja banyak yang hanya kerja kantoran dan tidak produksi," ujarnya.

Dia menuturkan, saat ini kapasitas terpasang di sejumlah perusahaan pengolahan ikan hanya mencapai sekitar 10 persen. Padahal sebelum ada peraturan mengenai transhipment, kapasitas terpasang masing-masing perusahaan bisa mencapai 60 persen.

Kepala Seksi Perencanaan Pemerintah dan Pembangunan Manusia Urusan II Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bap‎peda) Kota Bitung, Jim Dickens Davy Hamber menjelaskan, pelemahan industri pengolahan sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi Kota Bitung.

Data yang diperolehnya, pada kuartal III 2016 pertumbuhan ekonomi di Bitung hanya mencapai 6 persen. Angka ini turun dibandingkan tahun sebelumnya (kuartal III 2015) yang mencapai 6,7 persen.

Penurunan tersebut dikarenakan sektor jasa dan konsumsi masyarakat yang ditunjang industri perikanan juga ikut tertekan, misalnya penginapan dan hotel yang kerap digunakan awak kapal kini mulai kosong.

"Turun sekali perekonomian Bitung. Walaupun kita masih tertolong oleh sektor jasa lain. Tapi sangat berpengaruh dari industri ikan," ujarnya.

Jim berharap pemerintah pusat khususnya KKP bisa membuat regulasi yang lebih baik bagi sektor perikanan. Jika kondisi ini terus terjadi, maka bukan tidak mungkin semua perusahaan pengolahan ikan di Bitung dan daerah lain tutup karena tidak ada pasokan bahan baku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement