Senin 22 May 2017 17:21 WIB

Mengapa Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada 2013-2015 Melambat?

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: M.Iqbal
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menyampaikan sambutannya dalam seminar Surat Berharga Komersial (SBK) di Gedung Kebon Sirih, Bank Indonesia (BI), Jakarta, Senin (24/10).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menyampaikan sambutannya dalam seminar Surat Berharga Komersial (SBK) di Gedung Kebon Sirih, Bank Indonesia (BI), Jakarta, Senin (24/10).

REPUBLIKA.CO.ID,BALI -- Bank Indonesia (BI) menyatakan, 2016 merupakan tahun dimulainya pemulihan ekonomi Indonesia. Sebab, perekonomian nasional tumbuh melambat sejak 2013 sampai 2015.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menuturkan, ada dua penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat pada periode 2013-2015. Pertama, adanya perubahan kebijakan moneter Amerika Serikat (AS), salah satunya dengan menurunkan suku bunganya menjadi 0,25 persen.

"Pada waktu AS ubah kebijakan moneter itu, terjadi guncangan di negara-negara emerging market termasuk Indonesia, terjadi capital outflow cukup besar juga," jelasnya dalam acara Diseminasi Peluncuran Buku Laporan Perekonomian Indonesia 2016, di Bali, Senin, (22/5).

Penyebab kedua adalah jatuhnya harga komoditas perkebunan dan pertambangan. Mirza mengatakan, sebanyak 60 hingga 70 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari ekspor komoditas perkebunan serta pertambangan.

"Bahkan pada 2013 sampai 2015, perekonomian di Sumatera dan Kalimantan melambat signifikan karena keduanya mengandalkan ekspor komoditas," jelasnya.

Mirza menyebutkan, pada 2016 mulai pulih walau belum besar tapi bisa membuat kedua provinsi tersebut tumbuh positif. Menurut dia, perbaikan ekonomi nasional mulai tampak setelah AS menaikkan suku bunganya menjadi 0,50 persen pada Desember 2015.

"Setelah naik mulai ada stabilitas, disaat bersamaan karena discipline action dari otoritas BI dan OJK maka angka-angka makro Indonesia mulai membaik," ungkap Mirza.

Di antaranya defisit dijaga tidak lebih dari tiga persen Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB). Lalu inflasi yang pada 2013 dan 2014 pernah mencapai 8,3 persen, pada tajhun turun ke kisaran tiga sampai lima persen.  

Setelah ada kepastian dari AS, Mirza menjelaskan Indonesia mulai mendapat stabilitas. Maka beberapa pelonggaran kebijakan pun dilakukan, seperti pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) Primer, sehingga ada tambahan likuiditas masuk ke sistem perbankan.

"Beberapa pelonggaran kebijakan makroprudensial juga dilakukan di antaranya pelonggaran LTV (Loan to Value) sebanyak dua kali. Lalu BI mereformulasi suku bunga acuan BI dari BI rate menjadi BI 7 Day Repo Rate sebesar 4,75 persen," jelas Mirza.

Meski begitu, dia menegaskan, makro ekonomi kini tetap harus dijaga. Hal itu karena, pasar modal tetap akan melihat kondisi makro Indonesia dan tren kebijakan di luar negeri terutama AS.

Mirza juga memprediksi tahun ini, bank sentral AS akan menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali. Penaikan pertama sudah pada Maret lalu, kemungkinan bulan depan dan September mendatang akan naik lagi.

"Pada 2018 pun mungkin AS belum berhenti naikkan suku bunganya, masih dua kali lagi, karena mereka ingin menormalisasi suku bunganya menjadi dua sampai tiga persen. Sekarang baru satu persen," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement