Rabu 10 May 2017 21:12 WIB

Ini Empat PR Pemerintah Setelah Berakhirnya Amnesti Pajak

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Satria K Yudha
Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Utara Pontas Pane, bersama Wakil Ketua APINDO Siddhi Widyaprathama, Perwakilan dari CITA, dan Moderator Hisar Sirait (dari kiri ke kanan) menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Perpajakan Pasca Tax Amnesty yang digelar di Auditorium Kwik Kian Gie School of Business, Jakarta, Rabu (10/5).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Utara Pontas Pane, bersama Wakil Ketua APINDO Siddhi Widyaprathama, Perwakilan dari CITA, dan Moderator Hisar Sirait (dari kiri ke kanan) menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Perpajakan Pasca Tax Amnesty yang digelar di Auditorium Kwik Kian Gie School of Business, Jakarta, Rabu (10/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Program amnesti pajak yang rampung akhir Maret 2017 lalu tak lantas menghilangkan seluruh ganjalan dalam pengumpulan pajak di Indonesia. Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Utara Pontas Pane menyebutkan, paling tidak masih ada empat pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah yang masih harus diselesaikan setelah amnesti pajak berakhir.

Pertama, menurutnya, adalah pengawasan kepatuhan material. Ia melihat, persoalan kepatuhan perpajakan di Indonesia masih menjadi tugas berat pemerintah sejak dulu. Pontas menegaskan, meski program amnesti pajak sejak awal memang dilaksanakan untuk mendorong kepatuhan pajak masyarakat, namun upaya dan sosialisasi masih akan dilakukan meski program ini telah rampung.

Sedangkan PR kedua adalah penggalian potensi melalui intensifikasi, ekstensifikasi, dan penegakan hukum. Pontan menyebutkan, data yang didapat dari amnesti pajak bisa dijadikan dasar bagi petugas yang berwenang untuk terus mengawasi tingkat kepatuhan perpajakan dari para wajib pajak. Menurutnya, amnesti pajak setidaknya berhasil menambah luasan basis pajak bahkan dengan nilai deklarasi di atas Rp 4.000 triliun. Angka sebesar itu memberikan ruang bagi pemerintah untuk melakukan intensifikasi perpajakanm, termasuk penegakan hukum bagi wajib pajak yang tidak mengikuti amnesti pajak dan terbukti melakukan penghindaran pajak.

"Sedang PR ketiga adalah wajib pajak yang tidak lapor terdapat data yang tidak sesuai. Misalnya, dia bilang dia nggak punya rumah, namun dari PPATK dia pembeli 4 rumah. Dia bilang tak ada kegiatan lain hanya dapat warisan, padahal orang tuanya sudah meninggal sejak dia kecil, dan warisan orang tua tidak akan mampu mewariskan harta sebanyak itu," jelas Pontas dalam Seminar Nasional "Perpajakan Pasca Tax Amnesty" yang digelar Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie, bekerja sama dengan Republika, Rabu (10/5).

Sementara pekerjaan rumah keempat yang harus diselesaikan pemerintah adalah aset wajib pajak yang tidak sama dengan yang dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) atau Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan oleh wajib pajak.

"DJP sudah ikut memenjarakan wajib pajak. Itu sebetulnya asalnya dari kemauan masyarakat juga kami kaji dan berikan efek jera. Karena tuntutan berbagai lapisan masyarakat. Termasuk di sana masalah cekal untuk bepergian ke luar negeri bagi penunggak pajak," ujar Pontas. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement