Kamis 27 Apr 2017 15:45 WIB

BPS: Pulau Jawa Kuasai 60 Persen Usaha Ekonomi Indonesia

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
 Ketua BPS Suhariyanto berbicara saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (16\2).
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Ketua BPS Suhariyanto berbicara saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (16\2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, sensus ekonomi yang dilakukan sejak 2016 menunjukkan Indonesia bagian barat masih mendominasi pusat-pusat ekonomi yang ada. Sebanyak 79,35 persen usaha berada di Indonesia bagian barat yakni Pulau Sumatra dan Jawa. Sedangkan bila dirinci lagi, Pulau Jawa sendiri menyumbang 60,74 persen usaha. Artinya, dari 22,73 juta usaha atau perusahaan yang ada di seluruh Indonesia, 16,2 juta di antaranya berada di Pulau Jawa.

"PR-nya memang soal pemerataan kesempatan usaha. Agar usaha bisa tumbuh juga di luar Jawa," ujar Suhariyanto dalam peluncuran hasil pendataan usaha dalam Sensus Ekonomi 2016, di Kantor Pusat BPS, Kamis (27/4).

Berdasarkan hasil pendataan usaha dan perusahaan dalam sensus ekonomi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), tiga sektor usaha, yakni perdagangan besar dan eceran, penyediaan akomodasi dan makanan-minuman, serta industri pengolahan menguasai 79,42 persen dari 22,73 juta usaha yang tercatat di seluruh Indonesia. BPS juga merinci dari ketiga jenis usaha terbanyak, jenis usaha perdagangan besar dan eceran memimpin di posisi teratas. Terdapat 12,3 juta atau 46,17 persen pelaku usaha yang begerak di sektor perdagangan besar dan eceran ini. Kemudian sektor usaha akomodasi dan makanan-minuman menduduki tempat kedua dengan porsi 16,72 persen atau 4,47 juta usaha dan sisanya, 16,53 persen atau 4,42 juta usaha bergerak di sektor industri pengolahan.

Sementara itu, Ekonom Senior sekaligus Rektor Universitas Paramadina Firmanzah menilai bahwa mengacu pada rilis teranyar BPS soal kondisi usaha dan perusahaan di Indonesia, maka pemerintah harus fokus pada tataran kebijakan di sektor perdagangan. Ia beralasan dengan dominasi pelaku usaha di sektor perdagangan besar dan eceran hingga 46,17 persen, maka potensinya terhadap sumbangan pertumbuhan ekonomi juga akan besar.

Menurutnya, dengan target pertumbuhan ekonomi yang cukup prestisius hingga 2018 mendatang, rentang 5,4-6,1 persen, maka pemerintah perlu mendorong konsumsi sebagai salah satu motor penggerak pertumbuhan. Salah satu solusi jangka pendek, kata Firmanzah, adalah dengan membuat  sektor perdagangan besar dan eceran bisa lebih efisien dan efektif.

"Fokus saja ke 46,17 persen ini. Aturan dan skema apa saja, agar pengusaha di perdagangan besar dan eceran bisa lari kencang. Efeknya, akan tinggi mendorong pertumbuhan," katanya.

Selain itu, Firmanzah menilai bahwa struktur ekonomi Indonesia yang cukup banyak didukung oleh sektor informal memberikan ruang pengaman atas risiko global. Alasannya, pekerja di sektor informal cenderung tidak akan terimbas secara langsung atas gejolak ekonomi global. Ia mendesak pemerintah untuk bisa membuat satu jembatan penghubung yang jelas antara sektor formal dan informal, sehingga ke depan keduanya bisa saling mendukung.

"Kita harus memandang harus wise antara sektor formal dan informal. Ekonom Eropa melihat sektor informal adalah black market economy. Namun di Indonesia, sektor informal yang mencukupi sektor formal. Dengan adanya informal seperti warung-warung di pinggir jalan, maka banyak pekerja formal bisa menabung," katanya.

Baca juga: Hasil Sensus Ekonomi 2016: Perdagangan Dominasi Perekonomian

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement