REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menyebut impor bahan baku dan pendukung industri tekstil meningkat 15 persen pada kuartal pertama 2017. Menurutnya, kenaikan impor itu terjadi karena adanya peningkatan permintaan dari pasar ekspor.
"Di kuartal pertama tahun ini kalau ekspor dikurangi impor masih surplus 1,29 miliar dolar AS," kata Ade, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (18/4).
Namun begitu, ia mengaku tidak melihat adanya gejolak permintaan yang besar dari pasar dalam negeri jelang datangnya bulan Ramadhan. Permintaan justru lebih banyak datang dari luar negeri.
Menurut Ade, meningkatnya permintaan dari pasar luar negeri tersebut terjadi karena efek positif dari peningkatan daya saing produk tekstil Indonesia. Ini karena adanya sejumlah faktor dari dalam negeri yang berhasil memacu pertumbuhan ekspor. Ade menyebut, faktor-faktor tersebut antara lain berkurangnya waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan, meningkatnya jumlah operator garmen hasil pendidikan vokasi, hingga insentif yang diberikan Kementerian Keuangan. "Ini membuat waktu pembuatan dan pengiriman barang jadi lebih pendek," kata Ade.
Menurutnya, selama ini produk tekstil Indonesia kurang kompetitif dibanding produk milik negara pesaing yakni India, Vietnam, dan Bangladesh. Ade menyebut, hal itu karena secara geografis, posisi Indonesia paling jauh untuk menuju negara tujuan ekspor tekstil terbesar di dunia, yakni Amerika dan Eropa.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis nilai ekspor Indonesia yang mencapai 14,59 miliar dolar AS atau setara Rp 190 triliun pada Maret 2017. Jumlah ini meningkat 15,68 persen dibanding ekspor Februari 2017, atau naik 23,55 persen dibanding Maret 2016. Sementara, impor Indonesia pada Maret 2016 mencapai 13,36 miliar dolar AS, meningkat 17,65 persen ketimbang Februari lalu 11,35 miliar dolar AS.