Senin 17 Apr 2017 18:14 WIB

Eksportir Pilih Setop Suplai Biodisesel ke AS, Ini Alasannya

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Nur Aini
 Aktivitas bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal (JICT), Pelabuhan Tanjung Priok, Senin (17/4).
Foto: Republika/ Wihdan
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal (JICT), Pelabuhan Tanjung Priok, Senin (17/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisaris Wilmar Group, MP Tumanggor, menyebut tak ada lagi kontrak baru ekspor biodisesel ke Amerika Serikat sejak negara tersebut memberlakukan tarif ekspor bea masuk yang tinggi untuk Indonesia. Menurutnya, saat ini eksportir hanya menyelesaikan sisa kontrak yang ada.

"Kontrak yang sudah ada kita teruskan walaupun sebenernya kita jual rugi," kata Tumanggor, usai melakukan pertemuan dengan Menteri Perdagangan, di Jakarta, Senin (17/4).

Namun, pengusaha tak lagi mampu memenuhi permintaan baru biodiesel dari AS. Tumanggor menyebut, relatif tak ada kontrak baru yang dibuat sejak dua tahun terakhir sejak produk kelapa sawit asal Indonesia dipersoalkan oleh World Trade Organisation (WTO).

Tingginya tarif ekspor bea masuk atas produk biodiesel asal Tanah Air bermula dari tuduhan AS pada Indonesia. Negara yang kini dipimpin oleh Donald Trump tersebut menuduh Indonesia memberlakukan dumping yang menyebabkan mereka menderita defisit perdagangan. Setelah itu, AS menaikkan tarif biodiesel asal Indonesia dari yang semula 7-8 persen kini menjadi 20 persen.

"Produsen merasa tidak ada pemerintah memberlakukan harga dumping ke kita. Sehingga kita akan memberikan data-data pada mereka mengenai biaya produksi kita," kata Tumanggor.

Tak hanya itu, menurut dia, AS juga menuduh bahwa produsen menempati kawasan industri yang disediakan pemerintah sehingga hal itu mengurangi biaya produksi mereka. Padahal, Tumanggor menyatakan pemerintah tak pernah memberikan fasilitas berupa kawasan industri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement