REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar genap berusia 65 tahun pada 7 April 2017. HUT ke-65 tahun diisi dengan rangkaian kegiatan. Puncaknya adalah Al Azhar Expo 65 yang digelar di halaman Masjid Al Azhar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat-Ahad, 7-9 April 2017.
Salah satu rangkaian event Al-Azhar Expo 65 adalah talkshow "Berbisnis Secara Syariah" yang menampilkan mantan dirut BNI Syariah Imam Saptono dan perencana keuangan Ahmad Gozali.
Imam Saptono membawa visi menjadikan ekonomi syariah sebagai mainstream ekonomi. Bukan lagi ekonomi alternatif. Dengan bersumber pada Quran dan Sunnah, bukan sekedar akal. "Akal dipakai kalau sudah ada iman," kata Imam.
Menurut Imam, industri perbankan syariah dan lembaga sosial ziswaf harus berjalan beriringan dan saling melengkapi. “Bank syariah idealnya mengajak nasabahnya untuk membayar zakat, sedekah dan wakaf. Dan lembaga sosial juga mengingatkan agar dana zakat yang dibayarkan bukan hasil riba,” tutur Imam.
Imam menegaskan, pendekatan marketing tidak relevan lagi untuk bisnis keuangan syariah, tapi harus pendekatan dakwah. “Karena ekonomi syariah adalah bagian dari risalah Islam,” ujar Imam Saptono.
Jika Imam Saptono memandang dari sisi makro, Ahmad Gozali membahas dari sudut pandang mikro dan nano ekonomi. “Karena tidak akan sanggup seseorang mengurusi hal besar di luar jika ia belum selesai dengan dirinya sendiri,” kata Ahmad Gozali.
Gozali menyinggung dua masalah yang dihadapi pelaku usaha khususnya usaha mikro kecil menengah (UMKM) saat ini. Ia mengibaratkan mengelola usaha itu seperti menyetir. Masalah pertama yaitu banyak yang menyetir tanpa melihat. Dan kedua, banyak menyetir dalam kondisi mabuk.
“Bagaimana tidak dibilang seperti menyetir tanpa melihat kalau ditanya berapa omsetnya tidak tahu persis karena tidak memiliki catatan keuangan yang baik. Bahkan bukan cuma bisnisnya, keuangan pribadinya juga tidak tahu persis bagaimana kondisinya,” tutur Gozali.
Ia menambahkan, keuangan pribadi dan bisnis bercampur dan tidak tercatat. Omset dianggap profit, profit dianggap gaji, gaji dianggap spending semua. Karena tidak ada catatan sama sekali. “Ini sama seperti menyetir tanpa melihat. Tidak tahu sekarang ada dimana, kecepatan berapa, tidak tahu berapa sisa bensin dan sebagainya,” ujarnya.
Karena keuangan bisnisnya berantakan, maka kemudian perlu mencari tambahan modal. Tapi celakanya modalnya diperoleh dengan pinjaman riba. Dalam Alquran disebutkan bahwa orang yang kena penyakit riba itu tidak dapat berdiri selain akan seperti berdirinya orang yang mabuk atau gila.
“Maka mengandalkan pinjaman riba untuk bisnis itu sama saja seperti menyetir dalam kondisi mabuk. Pusing karena harus memikirkan pembayaran pinjaman beserta dengan bunganya. Bisnisnya membesar tapi tidak kokoh karena bermodal pinjaman dan hilangnya keberkahan dari bisnisnya tersebut,” papar Gozali.
Lalu, apa solusi yang ditawarkan? “Solusinya adalah mulai bertanggung jawab dengan bisnis sendiri yaitu dengan mulai melakukan pembukuan dengan rapi dan hindari riba,” tegas Ahmad Gozali.