REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoran Inc berharap segera mendapatkan izin ekspor mineral mentah dan konsentrat dari Indonesia selama enam bulan ke depan.
“Kami bekerja sama dengan pemerintah dalam hal ini, tapi hingga kini belum ada surat secara formal. Kami berharap dapat segera dilakukan dan tak ada hal yang diperdebatkan dalam surat itu,” kata Kepala Eksekutif Freeport Mc-Moran, Richard Adkerson, dilansir dari Bloomberg, Kamis (6/4).
Pemerintah Indonesia, pada Selasa, mengatakan izin ekspor konsentrat bagi PT Freeport Indonesia dikeluarkan setelah Kementerian Perdagangan menandatanganinya. Menurut Adkerson, hal ini hanyalah masalah administrasi yang tak melibatkan adanya negosiasi atau perundingan tambahan.
Pengiriman tembaga dari tambang terbesar kedua di dunia ini akan mempermudah pasokan tembaga setelah adanya aksi mogok tambang Freeport di Peru dan BHP Billiton Ltd Escondida di Cile. Selain itu, pengiriman pasokan tembaga ini juga dapat membantu mendorong meningkatkan ekonomi lokal melalui pendapatan negara dan juga lapangan pekerjaan.
Pemerintah Indonesia meminta PT Freeport untuk mengubah izin status pertambangannya dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) apabila ingin mengekspor mineral mentah dan konsentrat. Selain itu, Freeport juga diminta untuk membangun smelter di Indonesia dengan divestasi saham 51 persen untuk pemerintah Indonesia.
(Baca juga: Pemberian Izin Ekspor untuk Freeport Dinilai Cacat Hukum)
Terhadap tuntutan itu, Freeport pun menolaknya dan bersikeras untuk melanjutkan izin kontrak yang tengah berjalan. Kecuali, perusahaan tambang tersebut mendapatkan jaminan stabilitas jangka panjang yang baru, yang menawarkan kerangka hukum dan fiskal yang sama atas kehadirannya di Indonesia.
Adkerson pun optimistis, kedua belah pihak akan mencapai kesepakatan jangka panjang yang juga akan mempertahankan sejumlah poin penting dari Kontrak Karya. “Kami akan mencapai kesepakatan dengan itikad baik dan saya percaya, pemerintah juga begitu. Jadi kemungkinan akan ada solusi,” kata dia.
Merujuk pada MoU 2014, Adkerson mengatakan perusahaannya sepakat untuk meningkatkan royalti, membangun smelter, dan juga divestasi saham sebesar 30 persen. Kendati demikian, menurut dia, perusahaannya berupaya memahami alasan pemerintah tak menghormati kesepakatan kontrak. “Mereka (para pemegang saham) dengan tegas tak ingin kami menyerahkan hak jangka panjang kami hanya untuk kemampuan jangka pendek untuk mengekspor,” kata dia.