REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan permasalahan siginifikan dalam pemeriksaan atas percepatan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt periode 2006-2015. Hal itu diungkapkan Ketua BPK RI, Harry Azhar Aziz dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2016 kepada DPR RI.
Harry mengungkap, temuan BPK periode 2006-2015 menyimpulkan bahwa PLN belum mampu merencanakan tepat dan belum dapat menjamin kesesuaian antara ketentuan dan kebutuhan teknis pemeriksaan atas proyek pembangkit listrik. Karena itu menurutnya, perlu perhatian khusus terkait permasalahan dalam pembangunan tenaga listrik.
"Antara lain pada pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Balai Karimun, PLTU Ambon, PLTU 2 NTB Lombok, dan PLTU Kalbar dua terhenti (mangkrak) serta PLTU Kalbar 1 berpotensi mangkrak," kata Harry Azhar di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (6/5).
Hal ini karena, mangkraknya proyek tersebut membuat pengeluaran PLN sebesar Rp 609,54 miliar dan 78,69 juta dolar AS untuk membangun PLTU tersebut tidak berujung manfaat. Apalagi, PLN juga belum mengenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pembangunan PLTU sebesar Rp 704,87 miliar dan 102,26 juta dolar AS.
Selain itu, temuan lainnya berkaitan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) pada BUMN yang siginifikan lainnya yakni pemeriksaan atas pengelolaan rantai suplai dan pemeriksaan atas operasional BUMN. Hasil PDTT pada SKK Migas terkait kegiatan pengelolaan rantai suplai menyimpulkan kegiatan pengelolaan rantai suplai belum didukung dengan sistem pengendalian intern yang memadai serta belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai peraturan perundangan. Sehingga permasalahan yang perlu mendapat perhatian yakni belum adanya standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya yang digunakan pada kegiatan operasi perminyakan di SMK Migas.
Menurutnya, permasalahan yang perlu mendapat perhatian pada pemeriksaan operasional BUMN di antaranya pengadaan proyek pipa pada proyek pemasangan pipa jalur Bitung-Cimanggis dan proyek pengembangan Duri-Dumai senilai USD 21,85 juta. "Serta pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas Batam senilai Rp 18,57 miliar yang belum dimanfaatkan pada PT PGN," katanya.
Dalam kesempatan itu, Harry juga mengatakan bahwa BPK telah mengungkap 5.810 temuan yang memuat 7.594 permasalahan yang meliputi 1.393 kelemahan Sistem Pengendalian Internal dan 6.201 permasalahan ketidakpatuhan kepada Undang-undang. Dari 6.201 permasalahan ketidakpatuhan tersebut sebanyak 1.968 berdampak finansial berupa pengembalian kas atau aset negara senilai Rp 12,59 triliun.
Jumlah itu terdiri atas permasalahan yang mengakibatkan kerugian negara sebanyak 1.205 permasalahan senilai Rp 1,37 triliun, berpotensi kerugian negara 329 permasalahan senilai Rp 6,55 triliun, dan kekurangan penerimaan sebanyak 434 permasalahan senilai Rp 4,66 triliun. "Atas ketidakpatuhan yang berdampak finansial itu, selama proses pemeriksaan entitas yang diperiksa telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset dan menyetor ke kas negara senilai Rp 130,78 miliar atau 1,03 persen," kata Harry.
Adapun IHPS II Tahun 2016 merupakan ringkasan dari 604 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diselesaikan BPK pada semester II tahun 2016. LHP tersebut meliputi 81 LHP (13 persen) pada pemerintah pusat, 489 LHP (81 persen) pada pemerintah daerah dan BUMD, serta 34 LHP (6 persen) pada BUMN dan badan lainnya. Berdasarkan jenis pemeriksaan, LHP dimaksud terdiri atas 9 LHP (1 persen) keuangan, 316 LHP (53 persen) kinerja, dan 279 LHP (46 persen) dengan tujuan tertentu (PDTT).