REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sesuai Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK), salah satu opsi resolusi dalam penanganan permasalahan solvabilitas bank sistemik. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur mengenai pendirian bank perantara yang muatan pengaturannya mengacu pada UU PPKSK.
Saat ini terdapat sebanyak 12 bank sistemik atau bank yang pelaksanaan usahanya kompleks yang apabila mengalami krisis dapat berdampak sistemik. Apabila bank sistemik tersebut mengalami masalah solvabilitas, oleh otoritas resolusi yang dilakukan adalah dengan cara mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank kepada bank perantara.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad menjelaskan, POJK tentang bank perantara memuat aturan mengenai prosedur pendirian Bank Perantara, mulai dari proses pendirian, operasional, dan pengakhiran bank perantara.
"Bank perantara hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam pendirian bank perantara tidak berlaku ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan oleh 2 (dua) pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam UU mengenai Perseroan Terbatas,"jelas Muliaman D Hadad di Gedung Soemitro OJK, Rabu (5/4).
Selain itu, tidak berlaku juga ketentuan mengenai batas maksimum kepemilikan saham bank. Artinya, meskipun berbentuk Perseroan Terbatas (PT), status bank perantara nantinya hanya dimiliki oleh LPS sebagai pemegang saham.
Muliaman menuturkan, secara prinsip dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank perantara wajib memenuhi ketentuan yang berlaku bagi bank kecuali ketentuan yang memang secara khusus tidak berlaku bagi bank perantara. Keberadaan bank perantara membuka opsi penanganan permasalahan solvabilitas bank tidak hanya dilakukan dengan cara pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank bermasalah kepada bank penerima (P&A), penyertaan modal sementara, atau pencabutan izin usaha bank, namun juga dapat dilakukan dengan pendirian Bank Perantara yang digunakan sebagai sarana resolusi untuk menerima aset dan/atau kewajiban yang mempunyai kualitas baik dari bank bermasalah.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Nelson Tampubolon menjelaskan, bank perantara dapat beroperasi sebagaimana bank pada umumnya yang dapat menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) dan menyalurkan kredit. Bank perantara dapat berupa bank konvensional ataupun syariah.
"Tapi diharapkan LPS tidak boleh pegang bank ini lama-lama karena LPS tidak didesain untuk memiliki bank. Dia hanya batu loncatan saja," ujar Nelson.
Nelson menegaskan, bahwa bank perantara tentu dapat menyelamatkan bank sistemik. Apabila berdasarkan pertimbangan LPS akan lebih murah menyelamatkan bank, maka akan dibentuk bank perantara.
"Kalau lebih murah selamatkan bank dibandingkan likuidasi, ya selamatkan. Kalau dia pilih (cara) bridge bank, bisa,"ujar Nelson.