REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero mencetak laba bersih sebesar Rp 10,5 triliun pada 2016. Jumlah tersebut menurun jika dibandingkan dengan laba pada 2015 sekitar Rp 15,6 triliun.
Direktur Keuangan PLN, Sarwono Sudarto menerangkan penurunan tersebut dikarenakan perusahaan memberikan tarif kompetitif untuk masyarakat dan dunia usaha. "PLN juga mengikuti tax amnesty untuk mendukung program pemerintah sehingga beban pajak pada 2016 meningkat signifikan," ujar Sarwono dalam jumpa pers, di kantor pusat PLN, di Jakarta, Rabu (5/4).
Direktur Perencanaan Korporat PLN Nicke Widyawati menambahkan nilai penjualan tenaga listrik perusahaan pada 2016 mengalami kenaikan sebesar Rp 4,3 triliun menjadi Rp 214,1 triliun. Jumlah tersebut meningkat 2,05 persen dibanding tahun 2015 yakni sebesar Rp 209,8 triliun.
"Pertumbuhan penjualan ini berasal dari kenaikan volume penjualan menjadi sebesar 216,0 terra watt hour (TWh) atau naik 6,49 persen dibanding dengan periode yang sama tahun lalu sebesar 202,8 TWh," tutur Nicke.
Ia menerangkan peningkatan penjualan tersebut, sejalan dengan upaya perusahaan menambah kapasitas pembangkit sebesar 3714 MW. Angka demikian berasal dari pembangkit PLN sebesar 1932 MW, dan tambahan kapasitas dari Independent Power Producer (IPP) sebesar 1.782 MW, serta menyelesaikan 2.859 kilometer sirkuit (kms) jaringan transmisi dan gardu induk sebesar 14.123 MVA.
Nicke melanjutkan peningkatan konsumsi kwh didukung kenaikan jumlah pelanggan dimana sampai akhir 2016 mencapai 64,3 juta atau bertambah 3,1 juta dibandingkan akhir 2015 (61,2 juta pelanggan). Ia ,menjelaskan bertambahnya jumlah pelanggan mendorong kenaikan rasio elektrifikasi nasional dari 88,3 persen pada Desember 2015, menjadi 91,6 persen pada Desember 2016.
"Itu melampaui target rasio eletrifikasi pada tahun 2016 sebesar 90,15 persen," tuturnya.
Nieke mengatakan pada 2016 PLN juga terus berusaha menekan harga jual tenaga listrik agar lebih murah bagi pelanggan dibanding tahun 2015. Pada 2016 harga jual rata-rata Rp 994 per kWh turun sebesar Rp 41 per kWh dari Rp 1.035 per kWh pada 2015.
"Penurunan harga jual ini masih bisa diimbangi oleh efisiensi internal PLN sehingga tidak terlalu menggerus laba," katanya.
Nicke menerangkan, seiring dengan meningkatnya produksi listrik, beban usaha perusahaan naik sebesar Rp 8,2 triliun atau 3,32 persen menjadi Rp 254,4 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 246,3 triliun. Penumbuhan beban usaha 2016 lebih kecil dibanding pertumbuhan kWh jual karena PLN terus melakukan program efisiensi melalui substitusi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan penggunaan batu bara atau energi primer lain yang lebih murah.
Efisiensi terbesar, kata Nicke terlihat dari berkurangnya biaya BBM sebesar Rp 12,3 triliun sehingga pada 2016 menjadi Rp 22,8 trilliun atau 35,03 persen dari tahun sebelumnya Rp 35 trilliun. "Terutama dikarenakan penurunan konsumsi BBM 0,8 juta kiloliter, sehingga volume pemakaian sampai dengan 2016 sebesar 4,7 juta kiloliter," ujarnya.
Sementara untuk EBITDA 2016 , tercatat sebesar Rp 57,99 triliun, naik sebesar Rp 6,5 triliun dibandingkan dengan 2015 sebesar Rp 51,49 triliun. "Hal ini menunjukkan peningkatan kemampuan PLN dalam berinvestasi dengan dana internal dan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman," tutur Nicke.