Rabu 29 Mar 2017 22:45 WIB

Perkindo: Indonesia Butuh Tambahan Insinyur

Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan Stasiun mass rapid transit (MRT) Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (1/2). Pembangunan konstruksi mass rapid transit (MRT) Jakarta dipercepat agar dapat beroperasi sesuai dengan target, yakni pada bulan Maret 2019.
Foto: Muhammad Adimaja/Antara
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan Stasiun mass rapid transit (MRT) Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (1/2). Pembangunan konstruksi mass rapid transit (MRT) Jakarta dipercepat agar dapat beroperasi sesuai dengan target, yakni pada bulan Maret 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar jasa konstruksi di Indonesia terus naik dari tahun ke tahun. Sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga kerja ahli dan terampil di bidang ini.

Ketua DPD Persatuan Konsutan Indonesia (Perkindo) DKI Jakarta, S Catur Wibowo menjelaskan, meningkatnya pasar usaha jasa konstruksi itu ditunjukkan dengan tumbuhnya investasi bidang infrastruktur di dalam negeri yang rata-rata sebesar 5-10 persen. Dikatakan, total investasi konstruksi (APBN, APBD, BUMN, dan swasta) pada 2012 mencapai Rp 411,53 triliun atau tumbuh 4,99 persen dari tahun sebelumnya.

Kemudian pada 2013 sebesar Rp 466,68 triliun atau naik 5,07 persen. Lalu, lanjut dia, pada 2014 naik lagi sebesar 5,04 persen menjadi Rp 521,7 triliun dan 2015 naik 10,91 persen menjadi sebesar Rp 1.103,88 triliun.

Namun, ujar dia, pertumbuhan berkelanjutan itu tidak didukung dengan ketersediaan dan pasokan tenaga kerja jasa konstruksi yang mencukupi. Pada 2015 jumlah tenaga kerja jasa konstruksi Indonesia hanya 7,2 juta orang.

Dari jumlah tersebut, ujar dia, menurut data LPJKN 2015, yang bersertifikat ahli hanya 109.007 orang. Kemudian yang bersertifikat terampil 387.420 orang. Di sisi lain pertumbuhan tenaga insinyur secara nasional juga relatif rendah.

Menurut dia, dibanding negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Korea, Cina, dan India, jumlah insinyur di Indonesia lebih rendah dengan per 1 juta penduduk 3.000 orang pada 2015. Atau baru bisa menciptakan lulusan insinyur 164 orang per 1 juta penduduk.

"Hal demikian tentu kurang menguntungkan, apalagi daya serap (permintaan) tenaga kerja sektor ini masih tinggi untuk mendorong pembangunan infrastruktur di Indonesia," kata dia.

Kondisi itu membuat Indonesia masih membutuhkan tambahan insinyur pada periode 2015–2020 sekitar 10.000 orang per tahun. Kesenjangan ini yang dimanfaatkan tenaga ahli asing, khususnya dari negara lain di ASEAN.

Fenomena tersebut menunjukan pasar tenaga kerja jasa konstruksi yang tidak seimbang antara pasokan dan permintaan. "Meskipun permintaan tinggi, faktanya upah/biaya langsung personel umumnya relatif konstan pada harga yang murah, bahkan cenderung tidak manusiawi," kata Catur.

Karenanya, tambah dia, tantangan tersebut harus dijawab. Mengingat menurut World Economic Forum, pada 2019 potensi pasar konstruksi Indonesia di ASEAN diprediksi memiliki porsi 79 persen di antara 5 negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Vietnam).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement