REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Jelang berakhirnya program amnesti pajak (tax amnesty) total dana repatriasi belum mencapai target, yakni baru mencapai sekitar Rp 146 triliun atau 14,6 persen dari target Rp 1.000 triliun. Kondisi ini dinilai dipengaruhi instrumen pengelolaan dana di dalam negeri.
Pengamat Pajak Universitas Pelita Harapan (UPH) Roni Bako mengatakan, instrumen dana repatriasi yang tidak jelas membuat para Wajib Pajak (WP) enggan memulangkan uangnya ke dalam negeri. "Sebenarnya sudah ada instrumennya tapi kurang sosialisasi karena yang tanggung jawab bukan Ditjen Pajak," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa, (28/3).
Menurutnya, selama ini sosialisasi yang dilakukan ditjen pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) lebih kepada tarif tebusan tax amnesty 2, 3, 5 persen pada periode 1, 2, dan 3. Ia menambahkan, seandainya ada koordinasi antara Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Robert Pakpahan dengan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi maka pengumpulan dana repatriasi diprediksi lebih berhasil.
"Pihak perbankan juga kurang dilibatkan dalam program repatriasi, tapi nasi sudah menjadi bubur," tutur Roni.
Roni menjelaskan, malasnya WP memulangkan uangnya bukan karena ada 'diskon tarif' dari bank luar. "Itu sih cuma gertak sambal dari perbankan luar negeri," katanya. Ia mengatakan, untuk menutupi kegagalan dalam pengumpulan dana repatriasi, Indonesia harus berani membuka cabang bank di luar negeri. Hal itu khususnya di negara yang terdapat dana Warga Negara Indonesia (WNI) seperti di ASEAN, Hongkong, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Dengan begitu, WNI di luar negeri lebih mudah memindahkan uangnya ke cabang bank Indonesia, apalagi tahun depan sistem keterbukaan informasi (AEoI) mulai berlaku.
"Kalau tahun ini tidak dilakukan hal itu, maka dana orang Indonesia di luar negeri semakin jauh," ujar Roni. Ia menambahkan, 31 Maret program tax amnesty berakhir dan lewat tanggal tersebut WA akan dikenakan sanksi denda 200 persen.