Kamis 23 Mar 2017 17:59 WIB

Ini Saran untuk Pemerintah dalam Polemik Freeport

Rep: Frederikus Bata/ Red: Andi Nur Aminah
 Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika (ilustrasi)
Foto: Reuters/Stringer
Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum sumber daya alam Ahmad Redi memberikan rekomendasi kepada pemerintah sehubungan adanya polemik dengan PT Freeport Indonesia. Ia menyinggung soal kesiapan pemerintah jika pada 2021 mengambil alih PTFI. 

Redi mengatakan pemerintah perlu menyiapkan konsorsium BUMN tambang untuk melanjutkan operasi PTFI. Pemerintah menurut dia tidak perlu khawatir dengan tenaga kerja, karena 97 persen pekerja di perusahaan tersebut dari dalam negeri. Ia menawarkan opsi lain, yakni pemerintah boleh saja memperpanjang kontrak PTFI setelah 2021 hingga puluhan tahun ke depan. Asalkan, nantinya ada aturan yang mengatur penyerapan divestasi harus 51 persen tanpa lewat proses pembelian. "Modal kita sumber daya alam yang ada di Papua,"  ujar Redi. 

Kemudian selain BUMN tambang, pemerintah, menurut dia bisa mencari perusahaan lain yang mampu melanjutkan operasional PTFi. Redi menegaskan sudah saatnya pemerintah menegakkan aturan yang telah dibuat. Dalam KK kata dia, ada butir yang menuliskan perusahaan wajib mengikuti peraturan di  Indonesia dari waktu ke waktu. 

"Sebanyak 50 tahun mereka menambang, kita sudah dirampok. Kalaupun mereka bayar pajak, semua perusahaan di Republik ini bayar pajak," tutur Redi. 

Ia menjelaskan UU Minerba Tahun 2009, jelas semua bahan mineral harus dimurnikan dan diolah dalam negeri. Sementara PTFI hanya memiliki PT Smelting Gresik yang mampu melakukan pengolahan mineral 40 persen. "Itupun Freeport di PT Smelting Gresik hanya kepemilikan saham," ujar Redi. 

Menurut Redi jika persoalan ini dibawa ke jalur arbitrase, pemerintah dalam posisi yang lebih kuat. Pasalnya isu lingkungan hidup menjadi konsen dunia. "Limbahnya merusak sumber daya alam yang ada disana," ujar pengajar di Universitas Tarumanegara ini.  "Justru mereka yang rugi, saham mereka rontok," tuturnya. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement