Selasa 14 Mar 2017 16:40 WIB

Ekspor Produk Bernilai Tambah Bidik Negara Pesisir Samudra Hindia

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Kapal Kargo pengangkut kontainer komiditi ekspor (ilustrasi)
Foto: sustainabilityninja.com
Kapal Kargo pengangkut kontainer komiditi ekspor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mulai serius memperluas pasar ekspor Indonesia. Bila sebelumnya Indonesia terlalu mengandalkan produk-produk mentah sebagai komoditas ekspor, giliran produk hilir yang akan menjadi unggulan atau etalase ekspor Indonesia ke negara-negara nontradisional seperti negara anggota Asosiasi Negara-Negara Pesisir Samudra Hindia (IORA).

Ketergantungan Indonesia terhadap ekspor produk mentah dianggap membuat pasar ekspor Indonesia masih dikuasai oleh negara-negara industri seperti Cina, Jepang, dan Amerika Serikat (AS). Ketiga negara tersebut menyerap bahan baku Indonesia untuk kemudian diolah menjadi produk hilir yang bernilai tambah.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan, industri dalam negeri yang terlanjur terlena dan mengandalkan ekspor bahan mentah membuat dorongan untuk memberikan nilai tambah atas produk industri juga terkikis. "Sudah harga dan nilai tambahnya tidak bagus, kita tak juga bisa menghasilkan kegiatan industri untuk mengolahnya," kata Darmin di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (14/3). 

Mengatasi tantangan ini, kata Darmin, dibutuhkan perusahaan perdagangan yang besar sehingga memiliki kemampuan dalam mengelola hasil perkebunan tersebut. Darmin memberikan contoh kasus, Singapura yang selama ini menjadi negara tujuan ekspor hasil perkebunan Indonesia, menyerap komoditas dengan harga rendah. "Namun ketika sudah sampai di Singapura, hasil perkebunan tersebut diolah lagi, dan malah memiliki nilai jual hingga tiga kali lipat harga yang dibeli dari Indonesia," ujar dia.

Berangkat dari kesadaran untuk mendorong hilirisasi produk ekspor, pemerintah membuat sejumlah kesepakatan dan perjanjian dengan negara-negara tujuan ekspor non-tradisional. Langkah ini diyakini menjadi momentum untuk mendorong produk hilir dari sejumlah komoditas andalan Indonesia. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan bahwa selain mengurangi dampak fluktuasi harga komoditas, hilirisasi juga memperluas akses pasar dan dampak ekonomi.

"Banyaknya kerja sama internasional yang baru menjadi indikator bertambahnya keyakinan investor- investor untuk lebih berinvestasi di bidang manufaktur, mengolah barang mentah menjadi barang jadi," ujar Enggar.

Pemerintah pun tak main-main dalam menggaet potensi dagang dari pasar di negara-negara non-tradisional. Teranyar, penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) sektor perdagangan dengan Arab Saudi yang diyakini bisa memberikan nilai tambah terhadap komoditas ekspor Indonesia. Enggar mengaku, dalam beberapa tahun ini telah terjadi kemerosotan minat dagang Arab Saudi dengan Indonesia. Bahkan berdasarkan data neraca perdagangan terlihat kekosongan beberapa sektor yang menurutnya masih berpotensi untuk digenjot.

“Kita menyadari, masih banyak komoditi lain yang masih bisa kita kembangkan untuk meningkatkan hubungan kerja sama perdagangan antara dua negara yang mempunyai hubungan historis begitu panjang," ujar Enggar.

Data menunjukkan,  transaksi perdagangan Indonesia dengan Arab Saudi periode 2015-2016 mengalami penurunan, sebesar 26 persen menjadi 4,01 miliar dolar AS pada 2016 dibanding setahun sebelumnya. Data dari UN Comtrade juga menyebutkan, di 2012 sampai 2014, neraca dagang Indonesia dengan negara negara yang tergabung dalam IORA tercatat defisit sebesar 4,2 milar dolar AS, 4,9 miliar dolar AS dan 1,5 miliar dolar AS.

Kondisinya membaik pada tahun 2015, di mana neraca dagang Indonesia dengan negara-negara IORA kembali tercatat surplus sebesar 2,5 miliar dolar AS dan sebesar 1,45 miliar dolar AS di 2016. Nilai surplus itupun tersebut belum menyamai capaian terbesar surpus di atas 5 miliar dolar AS yang terjadi di tahun 1998, 2000 dan 2007.

Secara umum, sepanjang 2016, neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus 8,78 miliar dolar AS, meningkat 14,5 persen dibandingkan 2015 yang sebesar 7,67 miliar dolar AS. Nilai ekspor Indonesia sendiri tercatat sebesar 144,43 miliar dolar AS dengan nilai impor 135,65 miliar dolar AS.

Hanya saja Enggar mengatakan, surplus neraca perdagangan terjadi lebih karena penurunan angka impor jauh lebih tinggi dibanding penurunan ekspor. Tercatat nilai impor pada 2016 tersebut turun 4,94 persen dari tahun sebelumnya sebesar 142,7 miliar dolar AS. Penurunan tersebut lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya sebesar 3,95 persen. Sementara ekspor turun dari 150,4 miliar dolar AS di 2015 menjadi 144,43 miliar dolar AS di 2016.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement