Jumat 24 Feb 2017 16:14 WIB

Bahas Freeport, Tujuh Kepala Suku Ulayat akan Temui Pemerintah Pusat

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia berdemonstrasi di Kantor Bupati Mimika, Papua, Jumat (17/2).
Foto: Antara/Vembri Waluyas
Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia berdemonstrasi di Kantor Bupati Mimika, Papua, Jumat (17/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politisi Golkar, Yorrys Raweyae mengatakan tujuh kepala suku di tanah ulayat akan datang ke Jakarta untuk berkomunikasi dengan pemerintah untuk membahas persoalan PT Freeport Indonesia. Yorrys mengatakan pertemuan tersebut nantinya akan membahas persoalan dampak sosial akibat operasional Freeport selama ini.

Yorrys mengatakan tujuh kepala suku tersebut meminta pemerintah tetap dalam pendiriannya untuk tetap melakukan upaya agar Freeport tak terus menggrogoti Indonesia. Yorrys mengatakan persoalan Freeport bukan lagi persoalan bongkahan tembaga tetapi sudah bersinggungan dengan sosial masyarakat di Timika.

"Saya barusan lapor sama pak menko, saya ditelepon sama bupati timika, ada tujuh kepala suku pemilik tanah ulayat disana, bersama sama dengan perwakilan pekerja ada tuh mereka sekarang ke Jakarta. Mereka mau menyatakan dukungannya untuk mendukung kebijakan pemerintah soal Freeport," ujar Yorrys saat ditemui di Kantor Menko Maritim, Jumat (24/2).

Yorrys mengatakan, sejauh ini komunikasi yang ia jalin dengan para pekerja disana memang sudah ada 3.000 pekerja yang di PHK oleh Freeport ditengah ketidakberujungnya negoisasi soal kontrak dan keberlangsungan Freeport di Papua.

"Mereka kan sudah PHK 3.000 nih, nah mereka rencana mau PHK lagi 10 ribu dalam jangka waktu 21 hari kalau negosiasi ini gak selesai. Apabila sudah dibawa ke arbitrase, maka mereka akan PHK nih. Kalau 10 ribu di PHK, dalam konteks Timika yang kecil begitu, anda bisa bayangkan, bagaimana dinamika sosial disana. Apalagi, kita tahu, dalam kurun waktu 40 tahun PAD dan APBD sana itu Freeport 70 persen," ujar Yorrys.

Disatu sisi Yorrys menilai, persoalan Freeport memang multikompleks. Melihat sejarah pembentukan Freeport pun tak bisa lepas dari persoalan Politik gabungnya Papua dengan Republik Indonesia. Ia mengatakan pendekatan kepada persoalan Freeport tak bisa murni dengan pendekatan hukum bisnis. Ia mengatakan ada persoalan politik dan dampak sosial yang juga harus menjadi pertimbangan.

"Freeport dirancang oleh 22 negara. Mereka mendukung Papua masuk ke Indonesia, itu kompensasi politik. Makanya, kalau pendekatannya adalah hukum dagang, ya nggak ketemu," ujar Yorrys.

Namun, ia melihat, momen renegoisasi antara Indonesia dengan Freeport hari ini memang perlu dilakukan mengingat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan Indonesia kedepan. Ia melihat, pemerintah memang perlu melakukan negoisasi agar bisa menguntungkan bangsa.

"Freeport ikat dengan suatu kontak kerja, kalau skrg melihat pertumbuhan ekonomi nggak cocok, ada batasan renegoisasi kan. Freeport tidak pernah melanggar ketentuan, baik soal royalti maupun CSRnya. Freeport gak lalai, kalau kita bilang kurang, ya balik ke perjanjian gimana. Nah, ini pemerintah yang bergerak, memang harus dibicarakan kembali. Status mereka dengan KK dengan tantangan Indonesia, gak menguntungkan," ujar Yorrys.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement