Selasa 21 Feb 2017 04:17 WIB

Sudirman Said Ikut Buka Suara Soal Freeport, Ini Pernyataan Lengkapnya

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Budi Raharjo
Sudirman Said
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sudirman Said

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2014-2016 Sudirman Said ikut berbicara soal polemik antara PT Freeport Indonesia (PTFI) dan pemerintah. Apalagi, setelah pernyataan dari pihak PTFI yang menyebutkan kalau perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut masih mengacu pada surat tertanggal 7 Oktober 2015 yang dikirimkan oleh Menteri ESDM saat itu, Sudirman, kepada Bos Freeport McMoran saat itu yakni James Moffet.

Dalam konferensi pers, Presiden dan CEO Freeport-McMoran Inc, Richard Adkerson mengatakan pihaknya telah bertindak tepat sesuai surat yang dikeluarkan oleh pemerintah pada 7 Oktober 2015 mengenai perpanjangan operasi. Sudirman saat itu menandatangani surat yang mengizinkan Freeport melanjutkan kegiatan operasi sesuai dengan Kontrak Karya hingga 30 Desember 2021.

"Kita percaya ini konsisten sesuai peraturan di Indonesia. Kami konsisten dengan surat dari pemerintah tanggal 7 Oktober 2015. Yang mana kita diberikan kepastian," kata Richard kepada awak media di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20/2).

Freeport menilai dalam PP 1 Tahun 2017 tidak ada kepastian hukum dan fiskal dalam investasi yang panjang dan besar milik mereka. Dalam Undang-Undang Minerba, menurut Richard, menyebutkan kontrak karya tetap berlaku untuk perizinan ekspor. Freeport, kata dia, juga telah membangun pabrik smelter di Gresik yang mengolah 40 persen hasil produksi PTFI.

Menanggapi polemik ini, Sudirman menilai surat yang ia terbitkan Oktober 2015 lalu merupakan rangkaian proses negosiasi yang nyaris final. Ia juga menegaskan bahwa poin-poin yang terkandung dalam surat itu juga merupakan hasil pertemuan antara Presiden Jokowi dan Bos Freeport saat itu, James Moffet.

Sesuai permintaan Sudirman, pernyataannya ditampilkan secara lengkap:

"Sejak dua tahun lalu saya sudah jelaskan, bahkan di forum resmi Komisi VII DPR RI. Surat tanggal 7 Oktober 2015 adalah rangkaian dari proses negosiasi yang secara prinsip sebenarnya sudah hampir final. Dan harus diingat bahwa surat itu dibuat sebagai hasil Pertemuan Bapak Presiden Joko Widodo dengan chairman PT Freeport pada waktu itu Pak James Moffet.

Selanjutnya tentu saja harus ditindaklanjuti sesuai dengan perkembangan regulasi yang ada.

Saya berpendapat arbitrase bukan merupakan opsi terbaik. Karena makan waktu dan akan membuat solusi yang win-win makin jauh.

Sebagai badan usaha yang sudah lama mengenal Indonesia, Freeport harus bisa cari cara membuat stakeholders nyaman dan bekerja sama dengan baik menyukseskan bisnisnya.

Pun para pihak akan sangat baik jika tidak saling berkeras. Yang harus jadi prioritas adalah bagaimana menjaga kelangsungan ekonomi setempat dan rakyat Papua tidak menderita akibat berlarut-larutnya masalah ini.

PT Freeport Indonesia tetap pada keputusannya berstatus Kontrak Karya (KK) meski mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, perusahaan tersebut tidak bisa mengekspor konsentrat.  Aturan itu mengizinkan perusahaan tambang yang boleh mengekspor hanya yang berstatus Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement