REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Energi Nasional(DEN) Tumiran menyatakan pemerintah dalam upaya memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) secara transparan dan terukur keekonomiannya. Ia membantah ada isu yang mengataka pemerintah seolah tidak mendorong penggunaan EBT untuk listrik dengan memodifikasi tarif.
"Yang menjadi isu selama ini seolah-olah pemerintah tidak mendorong ebt dengan memodifikasi isu tarif itu tidak benar," kata Tumiran di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, Senin (23/1).
Ia mencontohkan upaya pemerintah yakni mengatur harga tarif ebt di setiap daerah, berbeda. Harganya, jelas Tumiran, disesuaikan dengan potensi energi ebt di wilayah setempat.
Ia menjelaskan di setiap daerah harga ebt maksimal 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) regional. Ia mengungkapkan dalam penetapan tarif listrik EBT di daerah tidak bisa disama ratakan menggunakan Biaya Pokok Produksi (BPP) Nasional 2016 sebesar Rp 980 per kWh.
"Ini supaya teman teman yang investasi energi terbarukan bisa mengupayakan menekan harga, mengefisienkan skala produksi, dan skenaro investasi untuk yang lebih murah," ujar Tumiran.
Pemerintah sesuai rencana umum energi nasional tetap pada target pemanfaatan EBT minimal 23 persen pada 2025 untuk sektor kelistrikan nasional. Dalam data DEN hingga akhir 2016, capaian EBT baru 8,8 gigawatt (GW) dan estimasi capaian 2017 adalah 9,1 GW, sementara seharusnya capaian EBT sebesar 10,6 GW (11 persen) berdasarkan target RUEN.