Senin 26 Dec 2016 15:58 WIB

Tim Reformasi Perpajakan Ingin Bangun Kepercayaan Masyarakat

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
 Petugas melayani wajib pajak yang ingin memperoleh informasi mengenai kebijakan amnesti pajak (tax amnesty) di Help Desk, di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Pusat, Kamis (8/12).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Petugas melayani wajib pajak yang ingin memperoleh informasi mengenai kebijakan amnesti pajak (tax amnesty) di Help Desk, di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta Pusat, Kamis (8/12).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Langkah pemerintah untuk membentuk tim reformasi perpajakan diyakini menjadi momentum untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat kepada institusi pajak. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, yang juga ditunjuk pemerintah untuk menjadi bagian dari tim ini, menilai bahwa kinerja tim reformasi perpajakan harus diawasi dan dikawal agar tujuannya bisa benar-benar tercapai.

Yustinus menyebut, reformasi perpajakan yang dilakukan saat ini harus menyentuh seluruh dimensi atau aspek perpajakan. Menurutnya, sejumlah agenda jangka menengah hingga panjang yang menjadi acuan tim reformasi perpajakan adalah revisi Undang-Undang Perpajakan dan Undang-Undang Perbankan, integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta perluasan fiskus data ker perbankan. Tak hanya itu, Yustinus menambahkan bahwa reformasi perpajakan juga harus menyentuh koordinasi dengan penegak hukum dan re-assesment petugas pajak.

"Yang tak kalah penting, reformasi juga harus menyangkut digitalisasi seluruh proses pembayaran dan pelaporan. Intinya, reformasi harus menjawab policy untuk why, regulasi untuk what, dan administrasi untuk how. Dan proses ini harus partisipasif dan inklusif," ujar Yustinus, Senin (26/12).

Yustinus menilai, seluruh langkah reformasi bila dilakukan dengan optimal bisa berujung pada penerimaan pajak yang saat ini menjadi modla utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya, meningkatnya kepercayaan akan meningkatkan kepatuhan sukarela dan akhirnya penerimaan pajak bisa naik secara alamiah.

Salah satu kebijakan yang akan dilakukan pemerintah untuk menarik keikutsertaan pajak adalah penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk badan. Yustinus menilai bahwa langkah ini merupakan "pemanis" yang bisa menarik peserta amnesti pajak untuk segera melaporkan hartanya. Meski, secara teknis pemerintah harus melakukan revisi atas UU PPh sebelum menjalankan kebijakan ini.

"Tapi harus mempertimbangkan dampak jangka pendek, yaitu turunnya penerimaan. Maka harus gradual. Jika batal naik atau terlalu lama, berpotensi menghilangkan momentum dan bisa dianggap menurunkan kredibilitas dan trust," ujar dia.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai bahwa reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah ke depan salah satunya akan fokus pada perbaikan teknologi informasi. Hal ini kaitannya dengan pengelolaan data wajib pajak yang terintegrasi termasuk antara KIP dan NPWP. Selain itu, menurut Sri, upaya progresif lainnya juga harus dilanjutkan pemerintah agar penerimaan pajak bisa meningkat secara natural.

"Sepuluh tahun lalu saya jadi Menkeu, pembayar pajak hanya 2 juta. Yang terdaftar 6 juta tapi yang bayar 2 juta. Sekarang terdaftar ada 30 juta namun yang aktif bayar pajak 22 juta. Artinya, reformasi saat ini bukan semata soal menambah pembayar pajak, namun lebih kepada reformasi di bidang IT," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement