Rabu 21 Dec 2016 07:04 WIB

Utang Pajak Google ke Indonesia Bisa Bengkak Jadi Rp 5 Triliun

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Google sedang mengembangkan kecerdasan buatan dalam bentuk Machine Learning. Ada tiga elemen yang jadi perpaduan komponennya.
Foto: flickr
Google sedang mengembangkan kecerdasan buatan dalam bentuk Machine Learning. Ada tiga elemen yang jadi perpaduan komponennya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan informasi dan teknologi asal Amerika Serikat (AS), Google Inc, berpotensi untuk dikenai penalti sebesar 400 persen dari pajak terutang. Artinya, bila pajak terutang Google selama satu tahun sebesar Rp 1 triliun, maka total pajak yang harus disetor Google bisa menyentuh Rp 5 triliun. Angka tersebut tentu angka membengkak bila perhitungan pajak terutang dilakukan hingga lima tahun ke belakang.

Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv menjelaskan, hal ini menyusul penolakan Google atas tax settlement atau negosiasi pajak yang dilakukan antara pemerintah dengan pihak Google. Langkah yang cukup lunak dari pemerintah Indonesia ini, diambil agar Google mau membayar pokok pajaknya, tanpa sanksi administrasi. Namun, Haniv menyebut bahwa Google tetap melakukan penawaran yang terlampau rendah atas angka yang diajukan pemerintah Indonesia.

Jalan buntu yang terpaksa ditemui dari proses negosiasi pembayaran pajak terutang Google ini membuat pemerintah Indonesia terpaksa menutup pintu negosiasi. Mulai Januari 2017 mendatang, status pemeriksaan atas utang pajak Google kembali kepada investigasi awal atau preliminary investigation. Dalam tahap ini, Google dikenai penalti sebesar 150 persen dari pajak terutangnya. Baru bila dalam tahap ini Google tiudak menunjukkan itikad baik untuk memberikan laporan perpajakannya dan melunasi utangnya, maka pemerintah akan melakukan investigasi penuh dengan denda 400 persen dari pajak terutang.

"Kalau nggak diberikan (pada Januari), maka bisa jadi Februari akan dilakukan full investigation," ujar Haniv di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (20/12).

Permintaan pemerintah kepada Google cukup sederhana, yakni menyerahkan data elektronik perpajakan atas operasionalnya di Indonesia. Namun, permintaan tersebut hingga saat ini belum dipenuhi oleh Google yang berkedudukan di Singapura, mewakili Google AS.

Ketegasan pemerintah untuk menutup pintu negosiasi ini lantaran penawaran pemerintah Indonesia juga terbilang rendah. Haniv menyebutkan, angka pajak yang disodorkan pemerintah sudah minimal jika dihitung dari utang pajak Google selama 2015 saja. Ia melanjutkan, Ditjen Pajak menolak penawaran nilai pajak yang diajukan Google. Sebab menurut Haniv, angka pajak yang disodorkan pemerintah sudah angka minimal jika dihitung dari utang pajak Google periode 2015.

"Saya tidak mau lagi ditawar karena mereka nawar di bawah sekali. Kalau saya ajukan 10, mereka nawar 2, kan seperlimanya, padahal angka itu sudah angka lebih kecil dari kewajiban seharusnya di 2015, belum saya hitung utang pajak 2014, 2013, dan seterusnya, jadi tidak masuk akal yang mereka minta," ujar Haniv.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebutkan, lebih baik pemerintah dan Google tetap melanjutkan proses perundingan atau tax settlement. Alasannya, dari segi dasar hukum yang belum kuat, akan lebih menguntungkan Indonesia bila Google memang mau membayar pajak terutangnya. "Tetap negosiasi saja. Biar tidak ada grey area. Menurut saya lebih baik settlement saja. Kalaupun dipaksakan SKP di pengadilan pajak, sulitnya di dasar hukum," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement