REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan awal pekan ini dibuka menguat 28 poin atau 0,2 persen di kisaran Rp 13.367 per dolar AS. Penguatan rupiah ke depannya didorong oleh penguatan surplus perdagangan yang diperkirakan konsisten.
Sebelumnya pada perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (16/12), rupiah melemah cukup tajam di kisaran Rp 13.395 per dolar AS, sejalan dengan pelemahan yang terjadi di Asia. Analis Riset Samuel Sekuritas, Rangga Cipta mengatakan, pelemahan rupiah pada pekan lalu juga dibarengi oleh pelemahan Surat Utang Negara (SUN) dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terutama dipengaruhi oleh faktor eksternal. Tetapi faktor domestik tak kalah negatif; harga beberapa jenis BBM yang mulai naik serta ekspektasi kenaikan defisit fiskal menjadi fokus utama.
"Tekanan pelemahan rupiah bisa bertahan di jangka pendek tetapi di jangka menengah penguatan bisa kembali didorong penguatan surplus perdagangan yang diperkirakan konsisten,"kata Rangga Cipta, Senin (19/12).
Menurut Rangga, indeks dolar yang mulai melemah di akhir pekan lalu berpeluang mencegah pelemahan rupiah lebih jauh lagi di awal minggu ini. Sementara itu indeks dolar mulai mereda penguatannya setelah sempat menguat tajam pasca rilis inflasi AS yang naik tengah minggu lalu. Saat ini fokus mulai beralih ke pertemuan BoJ yang akan disimpulkan Selasa esok.
Kamis lalu pertemuan BoE menyimpulkan masih menginginkan dipertahankannya program pembelian aset. Di sisi lain, harga minyak masih mempertahankan tren kenaikannya di tengah eskpektasi menipisnya surplus pasokan terhadap permintaan.
Sementara itu, ekonom Kenta Institute, Eric Sugandi mengatakan, ke depannya rupiah berpeluang menguat ke kisaran Rp 13.300 per dolar AS per akhir tahun 2016. "Karena US FFR sudah naik, sehingga ketidakpastian mengenai kapan US FFR (Federal Fund Rate) naik tahun ini sudah tidak ada. Ini mendorong penguatan rupiah," kata Eric.