REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah tengah menggodok sejumlah rencana penyiapan tenaga kerja di sektor prioritas. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan, penyiapan tenaga kerja di sektor prioritas terbilang mendesak lantaran saat ini dibutuhkan jutaan tenaga kerja terampil untuk bisa bersaing dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Darmin menyebutkan ada delapan profesi yang masuk dalam kebijakan pasar bebas seperti tercantum dalam ASEAN Mutual Recognition Arrangement (MRA). MRA masing-masing profesi telah menetapkan standar dan kompetensi yang diperlukan di kancah ASEAN. Nantinya, Indonesia bisa menerima tenaga kerja dari negara-negara ASEAN untuk profesi-profesi ini, begitu juga sebaliknya.
Delapan profesi itu adalah insinyur, arsitek, tenaga pariwisata, akuntan, dokter, dokter gigi, surveyor, dan perawat. Sedangkan sektor prioritas dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berjumlah 12 sektor, yakni produk berbasis agro, produk berbasis karet, produk berbasis kayu, e-ASEAN, kesehatan, transportasi udara, elektronika, pariwisata, tekstil dan produk tekstil, perikanan dan produk perikanan, otomotif, dan jasa logistik.
Untuk mencetak tenaga kerja terampil yang dibutuhkan industri, kata Darmin, pemerintah merancang pendidikan dan pelatihan vokasi yang diprioritaskan di bidang pembangunan infrastruktur, sertifikasi tanah rakyat, industri manufaktur, farmasi, dan pariwisata. “Untuk menyediakan tenaga kerja besar-besaran, kita butuh tempat pelatihan dengan peralatan yang benar-benar seusai dengan yang dibutuhkan industri. Jadi kalau lulus, tak perlu ada adjustment lagi,” ujar Darmin, di Jakarta, Jumat (9/12).
Darmin menegaskan perlunya identifikasi mengenai profesi apa saja yang dibutuhkan industri, termasuk industri dengan skala yang besar agar bisa dilihat dari sisi demand-nya. “Kalau tidak begitu, kita tidak akan pernah melahirkan kelembagaan yang kuat untuk pelatihan dan sertifikasinya,” katanya.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menjelaskan, diperlukan sinergi akademik, perguruan tinggi, dan pelatihan vokasional agar standar kompetensinya bisa dijalankan. “Misalnya untuk orang yang magang, tentu harus jelas kerangka kerjanya seperti apa, insentifnya berapa, jangka waktu kerjanya berapa lama. Baru setelah itu dia diberikan sertifikasi agar keluarnya nanti dia bisa dipercaya oleh penyedia lapangan kerja karena memiliki kompetensi,” ujar dia.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menilai perlunya pemerintah menggandeng industri untuk menghasilkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi. Selama ini, menurut Airlangga, Indonesia hanya memiliki guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berkualitas sekitar 20 persen saja. “Untuk meningkatkan kualitas pengajar SMK, saya sedang menyiapkan konsep, tenaga kerja industri yang sudah memasuki masa pensiun (usia 56 tahun), notabene sudah berkecimpung di dunia industri cukup lama, kita pindahkan saja menjadi guru SMK. Tentu kita beri modal berupa persiapan dan pelatihan sebelum terjun menjadi guru,” katanya.