REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, peluang kenaikan harga minyak dunia pascakeputusan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memangkas produksinya masih di kisaran 50 persen. Ia memproyeksikan bila ada kenaikan harga minyak pun belum terjadi secara signifikan.
Sri menjelaskan, setelah keputusan OPEC untuk memangkas produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari menjadi 32,5 juta barel per hari, akan muncul pertanyaan apakah dari sisi permintaan akan sesuai dengan pemangkasan yang dilakukan. Ia menjelaskan, dengana adanya penyesuain iklim ekonomi Eropa akibat Brexit dan referendum di Italia membuat sisi permintaan minyak dari negara-negara di Eropa bisa saja berubah.
Belum lagi, lanjutnya, kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS), di mana Presiden Terpilih Donald Trump melakukan stimulasi permintaan dalam negeri dengan pasokan shale gasnya, juga akan berimbas pada permintaan. Artinya, pemangkasan produksi yang berbarengan dengan lesunya permintaan juga belum mampu mendongkrak harga minyak secara signifikan.
Secara umum, Sri memandang asumsi harga minyak Indonesia (ICP) yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sebesar 45 dolar AS per barel masih relevan, meski ada langkah pemangkasan produksi oleh OPEC. Terlebih, Indonesia memilih membekukan keanggotaannya sementara, lantaran Indonesia tidak mungkin ikut memangkas produksinya.
"Namun dilihat dari prospek permintaan tidak mengalami kenaikan kemungkinan saja penguatan dari harga minyak itu akan terpengaruh atau dilemahkan dengan permintaan yang melemah juga dengan demikian juga dia tidak bisa bertahan lama dalam posisi yang terlalu tinggi," ujar Sri, Selasa (6/12).