Rabu 28 Sep 2016 16:16 WIB

Penyelesaian Proyek Listrik 35 Ribu MW Molor dari Target

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Nur Aini
Presiden Jokowi meresmikan proyek listrik 35 ribu MW.
Foto: Antara
Presiden Jokowi meresmikan proyek listrik 35 ribu MW.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyampaikan penyelesaian pembangunan listrik 35 ribu MW tak akan sesuai target yang ditetapkan alias molor. Menurutnya, pembangunan listrik 35 ribu MW hanya akan tercapai sekitar 25 ribu hingga 30 ribu MW pada 2019 nanti. Hal terpenting, kata dia, layanan listrik dapat menjangkau daerah-daerah yang belum teraliri listrik.

"Kalau kita lihat total 35 (MW) mungkin molor dikit tapi yang paling penting ada kesinambungan sehingga tidak mengganggu seluruh sistem listrik nasional," kata JK saat membuka Seminar dan Pameran Ketenagalistrikan Hari Listrik Nasional ke-71 Tahun 2016 serta Pencanangan Program PLTU Nasional di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Rabu (28/9).

Kendati demikian, ia berharap pada 2019 nanti pembangunan listrik secara nasional ini dapat dicapai secara maksimal sehingga dapat memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat yang belum merasakan listrik.

"Kemajuannya kita harap pokoknya tahun 2019 ada pencapaian yang maksimum lah. Mungkin tidak dicapai 35 ribu tapi mungkin juga dicapai 30 (ribu) atau 25 (ribu) yang penting pada tahun-tahun yang akan datang tidak ada lagi daerah yang tidak punya listrik dan sebagainya," kata dia.

JK kemudian menekankan pentingnya pembangunan listrik 35 ribu MW di Indonesia. Sebab, layanan listrik dewasa ini sudah merupakan kebutuhan pokok dari masyarakat di samping kebutuhan sandang, papan, dan pangan.

Karena menjadi kebutuhan dasar masyarakat, pemerintah pun bertanggung jawab untuk menyelesaikan pembangunan listrik 35 ribu MW tersebut. Pemerintah, kata JK, harus memberikan layanan listrik sesuai dengan kebutuhan seluruh masyarakat serta memperbaiki kualitasnya.

Dengan menyediakan listrik yang berkualitas sesuai kebutuhan, harga listrik pun lebih kompetitif dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam dan Thailand. JK mengatakan, listrik merupakan kebutuhan yang selalu meningkat tiap tahunnya akibat pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi serta perkembangan dunia industri.

"Sekarang kita dalam tahap pertumbuhan industri. Berarti kebutuhan listrik akan lebih tinggi dua kali lipat daripada pertumbuhan itu sendiri. Karena itulah dengan pertumbuhan-pertumbuhan itu angka yang paling populer diucapkan oleh semua tingkat pejabat presiden wapres para menteri angka 35 ribu, angka keramat yang harus kita selesaikan agar tidak mengulangi kesalahan sejarah masa lalu," kata dia.

JK mengatakan, akibat keterlambatan pembangunan listrik, maka pemerintah harus menanggung beban subsidi yang sangat besar. Pada 2014, kata dia, pemerintah harus memberikan subsidi senilai Rp 390 triliun, dan sekitar Rp 330 triliun dari subsidi tersebut digunakan untuk subsidi energi baik bahan bakar minyak dan juga listrik. Subsidi yang dianggarkan untuk listrik sendiri senilai Rp 100 triliun.

"Kenapa itu terjadi? Karena kelambatan membangun listrik. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak supaya jangan mati lampu, diangkatlah diesel di mana-mana dan itu terjadi pemborosan yang luar biasa. Dan sekiranya kita mengikuti program awal, maka dengan Rp 100 triliun kita bisa bikin 10 ribu MW langsung dari PLN sendiri. Ongkos keterlambatan larinya ke industri," kata dia.

Untuk meningkatkan kualitas listrik, JK menilai diperlukan penggunaan bauran energi yang terdiri dari batu bara, gas, dan renewable energy. Menurut dia, dengan bauran energi, maka energi listrik yang didapatkan pun akan terjamin dengan baik. Tak hanya itu, JK juga berharap adanya pengembangan teknologi dan industri penunjang dalam pembangunan listrik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement