REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi cuaca yang memasuki masa La-Nina atau kemarau basah menimbulkan hujan di hampir semua tempat di Indonesia. Kondisi ini diprediksi melemahkan produksi garam yang membutuhkan cuaca panas dari sinaran matahari.
Kepala Bidang Pengembangan Teknologi Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Artur Tanujaya mengatakan, situasi cuaca yang masih sering hujan sangat menanggu produktivitas petani garam. Petani akan kesulitan dan membuat garam karena suhu dari sinar matahari yang diharapkan kurang mencukupi sehingga air laut yang memiliki kandungan garam tidak menjadikan garam mengkristal.
"Kita sudah kehilangan produksi pada Juli sampai September karena cuaca tidak memungkinkan. Hanya tersisa dua bulan lagi mungkin sampai November mungkin untuk produksi garap," kata Artur di Jakarta, Senin (26/9).
Artur menjelaskan, rata-rata per tahun produksi garam baik oleh petani ataupun oleh perusahaan pengolahan garam hanya mampu menghasilkan 1,9-2 juta ton. Jumlah ini didapat dari produksi mulai Juni hingga Oktober atau November tergantung dengan kondisi cuaca Indonesia.
Dengan adanya cuaca La-nina yang masih berlangsung, produksi dari Juni hingga September kemungkinan tidak berjalan maksimal. Sedangkan memasuki bulan Oktober, cuaca ini diprediksi masih akan berlangsung di titik-titik pusat pembuatan garam.
"Dengan kondisi ini, produksi capai 500 ribu ton saja sudah bagus," ujarnya.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2014, kebutuhan garam nasional mencapai 3,6 juta ton. Industri aneka pangan membutuhkan garam mencapai 525 ribu ton, sedangkan industri aneka pangan 446,7 ribu ton. Untuk rumah tangga membutuhkan suplai garam hingga 511 ribu ton. Dengan ketiga sektor ini yang membutuhkan garam mencapai 1,5 juta ton, maka kemungkinan besar akan ada impor garam hanya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Sedangkan industri lain seperti tekstil, Industri chlor alkali palnt (CAP) yang membutuhkan garam berkualitas bagus, tidak akan menyerap garam produksi dalam negeri karena kualitas yang dihasilkan belum memenuhi standar. "Ya kalau impor ini tergantung dari regulasi pemerintah. Cuman saya nggak hitung berapa saat ini kebutuhan domestik," ungkap Artur.