REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menegaskan pentingnya peraturan terkait layanan keuangan berbasis teknologi informasi (fintech). Hal ini dikarenakan fintech berpotensi memicu praktik pencucian uang (money laundering).
Deputi Direktur Keuangan Inklusif BI, Ricky Satria mengatakan, sejauh ini Indonesia berada pada posisi lima besar negara dengan pertumbuhan penjualan smarthphone, sehingga akan mendorong peningkatan penggunaan aplikasi fintech. Namun, masih banyak penyedia layanan fintech masih kurang dalam melakukan mitigasi risiko, seperti pencucian uang.
"Fintech teknologinya sudah maju, tetapi masih kurang melek masalah money laundering," ujar Ricky dalam diskusi bertajuk "Retail Payment and Financial Inclusion in Promoting Cashless Transaction in Indonesia" di Jakarta, Rabu (21/9).
Menurut Ricky, regulator sistem pembayaran perlu mengawasi potensi praktik pencucian uang melalui fintech. Sebab, transaksi berbasis fintech sudah lintas negara sehingga berisiko terjadi aksi money laundering.
Selain itu, tanpa adanya aturan yang jelas dalam menyikapi dinamika fintech, maka akan memicu pelemahan industri keuangan akibat persaingan yang tidak sehat.
Untuk itu, BI sebagai otoritas sistem pembayaran akan menerbitkan regulasi terkait fintech yang saat ini berkembang semakin pesat. Dalam aturan tersebut akan diatur penyelenggaraan aktivitas usaha dalam model bisnis Fintech seperti penyedia internet payment gateway, penyelenggara electronic wallet, serta penyelenggara penunjang seperti terminal ATM/EDC, dan point of sales (POS). Setelah itu, akan ada regulatory sandbox dan fintech office untuk pelaksanaannya.
Regulatory sandbox ini akan mencontoh pada kebijakan yang telah dibuat beberapa negara anglo saxon. "Memang sampai saat ini belum ada negara yang meregulasi fintech. Baru negara anglo saxon yang memakai regulatory sandbox,"katanya.