Selasa 23 Aug 2016 01:39 WIB

Harga Rokok Rp 50 Ribu per Bungkus Dinilai Merugikan

Penjualan rokok di salah satu ritel, Jakarta, Ahad (21/8). (Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Penjualan rokok di salah satu ritel, Jakarta, Ahad (21/8). (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Ketua Umum  Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto mengatakan kenaikan harga rokok  sebesar Rp 50 ribu per bungkus tidak didasari dengan pertimbangan dan riset yang jelas. Rencana tersebut diprediksinya akan memukul industri dan para tenaga kerja di Tanah Air. 

"Pasalnya, pada kenaikan cukai sebesar 11,7 persen saja sudah terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 32.279 orang pada kurun waktu 2012 sampai 2015. Apalagi bila dinaikan sampai Rp 50 ribu harga per bungkus rokok, tentu kenaikan cukai berkali-kali lipat besarnya," kata Sudarto dalam keterangannya, Senin (22/8).

Para tenaga kerja tersebut datang dari industri kretek yang merupakan industri padat karya. Ditambah, mayoritas dari mereka berpendidikan rendah. “Sehingga ketika dirumahkan, mereka tak mampu bersaing dan bekerja di industri lain. Dan ini sangat berbahaya,” ujar Sudarto.

Seperti yang diketahui, riset kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu dikeluarkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM – UI). Riset itu memicu kekhawatiran dari industri, tenaga kerja, dan petani. 

Sudarto meminta seharusnya riset mencari jalan keluar yang bijak, bukan menyudutkan pihak-pihak tertentu. Dalam riset juga harus dicari jalan keluar. “Bila akibat riset itu banyak yang dirumahkan, siapa yang mau bertanggung jawab,” terang Sudarto.

Selain tenaga kerja, hal lain yang diakibatkan atas dampak kenaikan harga Rp 50 ribu adalah semakin banyaknya beredar rokok ilegal. Hingga saat ini, kata Sudarto, jumlah rokok ilegal berada di angka lebih dari 11 persen. “Nantinya, tentu yang akan dirugikan adalah pemerintah karena penerimaan cukai akan turun,” kata Sudarto. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) I Ketut Budiman mengatakan riset yang dilakukan oleh orang yang kontra rokok tentu akan membuahkan ketidakadilan. “Fokus mereka kan kesehatan, tapi bagaimana dengan tenaga kerja dan petani, apakah mereka pikirkan?” katanya.

Budiman menegaskan saat ini produksi cengkeh di Indonesia sekitar 100 ribu sampai 110 ribu ton per tahun. “Dan sekitar 94 persen diserap oleh industri rokok. Jika nanti industri itu terganggu akibat kenaikan harga ini, mau dikemanakan hasil cengkeh ini?” katanya. 

Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aoni Aziz menegaskan industri tidak terpengaruh dengan isu tersebut, “Sebab kami yakin pemerintah tidak akan menaikan harga secara semena-mena. Jadi isu mengenai kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu perbungkusnya itu kami anggap hoax,” ujarnya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement