REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia Irfan Anwar mengatakan, petani kopi robusta di Indonesia makin mengkhawatirkan. Sebab, harga jual kopi robusta di pasar ekspor cukup rendah yakni 2 dolar AS per kilogram.
"Saat ini petani kopi robusta mulai convert ke komoditas lain seperti cokelat," ujar Irfan di Jakarta, Kamis (4/8).
Irfan mengatakan, sekitar 80 persen produksi kopi di Indonesia adalah robusta namun kurang menguntungkan karena harganya rendah. Produksi kopi robusta tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia seperti Lampung, Palembang, dan Jambi.
Sementara itu, petani kopi arabica menguntungkan karena memiliki harga lebih tinggi yakni sekitar 6 dolar AS per kilogram. Wilayah yang memproduksi kopi arabica bisa dijumpai di Aceh dan Sumatera Utara. Perbedaan harga tersebut membuat petani kopi arabica cenderung lebih sejahtera ketimbang petani kopi robusta.
"Petani yang tanam robusta kurang profitable dan ada kendala cuaca, sehingga tanahnya ditanam dengan yang produktif. Kita harus kasih semangat petani jangan tinggalkan ini, karena konsumsi di dalam negeri dan di luar negeri meningkat," kata Irfan.
Untuk mengatasi hal tersebut, AEKI bekerja sama dengan International Islamic Trade Finance Corporation (ITFC) meluncurkan program pengembangan dan pendanaan inovatif dengan mendirikan Farmers Training Centre. CEO ITFC Hani Salem Sonbol mengatakan, program ini menyoroti dampak langsung terhadap keseluruhan rantai pasok kopi di Indonesia mulai dari pemilik perkebunan kecil, pedagang, eksportir, dan pengolahannya. Program ini telah dirancang dan diterapkan untuk menguatkan perdagangan dan promosi serta peningkatan kapasitas di sektor kopi.
"Pendanaan ini juga memungkinkan koperasi-koperasi kopi dan UKM di Indonesia meningkatkan ekspor ke pasar global," ujar Sonbol.
Sonbol menjelaskan, secara keseluruhan program ini akan berjalan selama tiga tahun di Sumatera Utara, Lampung, dan Jawa Timur. Untuk tahap pertama akan dilakukan di Sumatra Utara dengan melibatkan antara 40 ribu sampai 80 ribu petani, kemudian di Lampung melibatkan 280 ribu sampai 320 ribu petani. Sementara itu, di Jawa Timur melibatkan 60 ribu sampai 100 ribu petani.
Salah satu fokus yang terpenting dari program ini adalah kemudahan untuk mereplikasikannya di negara lain seperti Afrika. Diharapkan, program ini dapat memberikan dampak yang baik dan berkelanjutan bagi perekonomian Indonesia.