Selasa 19 Jul 2016 09:25 WIB

OJK: Jumlah Kredit Bermasalah di Bali Mendekati Level Kuning

Kredit macet (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Kredit macet (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta perbankan di Provinsi Bali memonitor secara intensif debitur terutama bank perkreditan rakyat (BPR) untuk menekan angka kredit bermasalah yang hampir menyentuh level 'kuning'.

Kepala OJK Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara Zulmi di Denpasar, Selasa, menjelaskan bahwa kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) BPR di Bali dari Desember 2015 hingga Mei 2016 mencapai 4,8 persen. Hal itu, katanya, artinya angka NPL sudah hampir menyentuh nilai ambang batas kewajaran, yakni lima persen.

Apabila melebihi lima persen, katanya, kinerja perbankan tersebut dalam kategori yang perlu mendapat perhatian serius. "Tidak hanya debitur bermasalah, debitur yang sudah diberikan kredit juga dimonitor secara intensif," ujar Zulmi.

Ia meminta kalangan perbankan mengintensifkan pengawasan dan monitoring debitur, termasuk mengetahui masalah yang berperan memicu NPL. 

Jika NPL itu terjadi karena masalah keuangan tetapi prospek debitur bagus, Zulmi menyarankan perbankan melakukan restrukturisasi dengan memberikan keringanan. Namun, apabila debitur bermasalah dan tidak memiliki prospek, maka perbankan perlu memanfaatkan agunan yang diajukan debitur sebelum memeroleh kredit.

Ia mengatakan engawasan perlu intensif dilakukan mengingat penyaluran kredit yang meningkat selama lima bulan terakhir, yakni untuk bank umum mencapai 2,3 persen, sedangkan BPR mencapai 2,15 persen.

Secara keseluruhan penyaluran kredit hingga Mei 2016 melonjak 9,71 persen jika dibandingkan periode sama tahun 2015 (yoy) dengan penyaluran kredit dari BPR meningkat mencapai 11,49 persen, bank umum konvensional naik 9,59 persen, dan syariah naik 5,01 persen.

Zulmi menyebutkan bahwa tingginya NPL di BPR disebabkan oleh pengaruh ekonomi sebelumnya yang melemah hingga adanya kejenuhan pada sektor yang dibiayai, yakni sektor properti dan turunannya. Turunan dari sektor properti, di antaranya para pemasok atau pedagang bahan bangunan yang ikut terpengaruh dengan biaya produksi tinggi namun daya beli masyarakat yang menurun.

 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement