Selasa 28 Jun 2016 01:30 WIB

Indonesia Dinilai Harus Berhemat

Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan
Layar monitor menunjukan pergerakan grafik surat utang negara di Delaing Room Treasury (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Indonesia dinilai harus melakukan penghematan karena utang negara dan swasta dalam setahun meningkat. Itu diungkapkan pemerhati masalah ekonomi dari Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat Benny Dwika Leonanda ST, MT.

"Peningkatan utang negara dan swasta dalam setahun terakhir tidak akan mampu memperbaiki ekonomi dalam waktu dekat di tengah penurunan pendapatan pemerintah sehingga diperlukan efisiensi belanja pegawai dan pengangkatan PNS," kata dia dihubungi dari Pekanbaru, Senin (28/6).

Ia mengatakan itu terkait telah terjadi "epicentrum ekonomi" (pusat guncangan ekonomi, red) di Inggris pada Jumat (24/6) 2016 dengan kerugian mencapai 385 miliar dolar AS dalam waktu delapan jam. Berikutnya kerugian mencapai 208 triliun dolar AS dalam waktu satu hari telah terjadi goncangan ekonomi di seluruh pasar dunia, lebih besar dari pada krisis ekonomi tahun 2008 di Amerika Serikat yang hanya 1,99 triliun dolar AS.

Menurut dia, dampak dari efisiensi memang ada antara lain ketidakpuasan penduduk pada Pemerintah kendati distribusi barang masih terkendali oleh kartel dengan baik. Ia memprediksi suatu saat nanti Indonesia dalam kondisi default, tidak mampu membayar hutang tanpa utang baru.

"Kondisi ekonomi Indonesia saat ini pun, juga tidak dalam keadaan yang baik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 yang melambat dibawah 5 persen, justru sudah memicu PHK massal diberbagai perusahaan elektronik, otomotif, dan negeri awal tahun 2016," katanya.

Ia menilai bahwa pada kuatral pertama tahun 2016 juga demikian walaupun sedikit perbaikan dari tahun 2015 akan tetapi tidak membantu pertumbuhan ekonomi dan pasar tetap lesu, pendapatan pemerintah dari pajak tidak menentu sehingga diakhir Mei 2016 anggaran negara akan defisit sebesar Rp 198, 1 triun.

Defisit tersebut cukup besar, katanya, dan telah menghabis 69,3 persen dari kemungkinan jatah defisit pemerintah tahun 2016, sehingga pemerintah terpaksa memotong anggaran seperti yang tercantum dalam Inpres nomor 4 tahun 2016.

"Bahkan berbagai Kementrian pun tentunya terpaksa memotong anggaran mereka dan menghapus berbagai subsidi dan program kegiatan yang berlaku selama ini. Ini menandakan bahwa anggaran belanja perlu dihemat. Kondisi ini tentu saja memicu pertumbuhan ekonomi negara pada masa datang," katanya.

Namun dilemanya, kata Benny lagi, ekonomi Indonesia mengkerut dan memungkinkan akan mengalami depresi jika peningkatan konsumsi masyarakat tidak tercapai. "Oleh karena itu siapa yang harus memperbaiki hal ini dan masyarakat tidak bisa dibiarkan tiba-tiba berhadapan dengan kondisi ekonomi sulit pada masa datang?" katanya.

Langkah penghematan dari pemerintah dan masyarakat menurutnya harus dilakukan, agar setelah 2025 Indonesia tidak terancam "tidak ada lagi" apalagi arus globalisasi berjalan dengan cepat, dan goncangan sosial dan ekonomi akan terjadi pada masa datang.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement