REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah tengah menginstruksikan sejumlah BUMN untuk melaksanakan impor daging sapi sebanyak 10 ribu ton guna memenuhi kebutuhan Ramadhan dan mengendalikan harga. Kebijakan impor tersebut tetap dilaksanakan padahal daging sapi tidak terlalu memengaruhi inflasi.
"Daging sapi hanya menyumbang inflasi sebanyak satu persen untuk periode 1-10 Juni 2016, sumbangan terbesar inflasi bukan dari daging," kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal dalam CORE Media Discussion (CMD), Selasa (14/6).
Untuk periode 1 Mei-10 Juni 2016 pun, kata dia, daging sapi hanya menyumbang inflasi sebesar dua persen. Komoditas pangan yang justru tinggi menyumbang inflasi yakni gula pasir sebanyak 16 persen, cabai merah dan cabai merah keriting sebanyak 11 persen, telur ayam ras sebanyak sembilan persen dan daging ayam ras sebanyak 11 persen.
Faisal membandingkan laju inflasi di Indoneaia dari tahun ke tahun dengan negara lainnya yang merayakan Ramadhan secara mayoritas serupa Indonesia. Mereka di antaranya Turki, Malaysia, Bangladesh, Pakistan dan Saudi Arabia. Data menyebutkan, inflasi di Indonesia selalu yang tertinggi khususnya inflasi pangan saat Ramadhan dan Lebaran.
Ia menguraikan, pada periode Juni dan Juli 2015, inflasi mencapai 7,3 persen dari tahun ke tahun. Sedangkan Turki lebih rendah yakni 7,2 persen untuk Juni dan 6,8 persen pada Juli, Malaysia 2,5 dan 3,3 persen, Bangladesh 6,3 dan 6,4 persen, Pakistan 3,2 dan 1,8 persen serta Saudi Arabia 2,2 persen di Juni dan Juli 2015. "Untuk inflasi pangan lebih parah, pada Juni 2015 inflasi 8,6 persen dan Juli 8,7 persen," ujarnya.
Untuk inflasi dari bulan ke bulan, Faisal memprediksi inflasi pada Juni-Juli 2016 meningkat di kisaran 1,0 persen. Kenaikan harga bahan pangan merupakan pendorong utama inflasi saat Ramadhan dan Lebaran.
Baca juga: Bulog Gelontorkan 90 Ton Daging Impor per Hari