REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali terpuruk. Pada Rabu (25/5), rentang gerak rupiah berada di kisaran Rp 13.618-13.703 per dolar AS. Bank Indonesia menilai, kondisi nilai tukar rupiah yang relatif lebih lemah ini sepenuhnya karena pengaruh global, yaitu bank sentral AS, The Fed mengenai kenaikan Fed Fund Rate pada Juni dan Juli mendatang.
"Statement hawkish dan cenderung menaikkan bunga itu berdampak ke stabilitas keuangan dunia karena banyak yang kemudian meresponnya," kata Gubernur BI Agus DW Martowardojo di Jakarta, Rabu (25/5).
Selain karena The Fed, menurut Agus, berita mengenai Inggris yang cenderung membatalkan rencana keluarnya dari Uni Eropa juga mempengaruhi sentimen pasar. Faktor lain, kata Agus, adalah harga minyak.
Dalam pertemuan negara penghasil minyak, Iran mengambil posisi tidak mau mengurangi jumlah produksi. "Dan ini juga berpengaruh. Kondisi ini berdampak ke negara dunia termasuk ke Indonesia," katanya.
Agus menambahkan, tingginya permintaan korporasi terhadap valuta asing (valas) pada kuartal II juga menjadi salah satu penyebab jatuhnya nilai tukar rupiah. Kendati begitu, ia menyakini BI akan selalu ada di pasar untuk menjaga nilai tukar.
"Indonesia sendiri pengamanan di kuartal II, cukup banyak korporasi yang memerlukan valas untuk melakukan pembayaran dividen ke luar negeri ataupun kewajiban lain. Jadi secara umum itu adalah bersifat sementara dan BI akan terus ada di pasar untuk terus menjaga," katanya.
Berdasarkan data Bloomberg, Rabu (25/5) pagi, rupiah dibuka ke posisi Rp 13.618 per dolar AS. Pergerakan mata uang rupiah semakin melemah dan menembus level Rp 13.702 per dolar AS. Rupiah melemah hingga mencapai 64 poin atau setara 0,47 persen. Sementara itu, nilai tukar rupiah tercatat memiliki year to date return sebesar minus 0,62 persen.