Senin 23 May 2016 17:24 WIB

OJK: Tawaran Investasi dengan Imbal Balik tak Wajar, Pasti Bohong

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Investasi (ilustrasi)
Foto: Reuters/Leonhard Foeger
Investasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai adanya tawaran investasi bodong dari pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto menyebutkan, saat ini masih cukup banyak ditemui adanya tawaran investasi bodong. Ia memberi contoh, adanya penawaran berupa imbal balik yang terlampau besar adalah salah satu karakter investasi yang bakal merugikan masyarakat.

"Sekelompok orang yang iming-imingi investasi dengan tingkat imbal hasil yang luar biasa. Bank saja bunga deposito paling tujuh persen per tahun. Lalu ada orang yang tawarkan kalau investigasi di sini 30 persen. Itu pasti bohong. Too good to be true," kata Rahmat saat berkunjung ke Ambon, Senin (23/5).

OJK, kata Rahmat, lantas menyiapkan tim khusus yang bertugas melakukan investigasi sekaligus pemberian edukasi kepada masyarakat atas risiko keberadaan jenis investasi ini. Ia mengingatkan masyarakat, apabila ada pihak yang menawarkan bentuk investasi tertentu, hendaknya masyarakat meminta surat izin yang dikeluarkan oleh OJK. Apabila memang tidak ada izin sama sekali, masyarakat diminta waspada atau menhindari jenis investasi tersebut.

"Masyarakat harus tahu latar belakangnya. Kita sudah ada satgas investasi. Kalau ada yang tawarkan tanya kan saja sudah dapat izin belum? Kalau memang sudah, minta izinnya. Soalnya, penawaran imbal hasil 20 sampai 30 persen pasti bohong," katanya.

Ketua Satgas Waspada Investasi sekaligus Direktur Kebijakan dan Dukungan Penyidikan OJK Tongam Lumban Tobing menambahkan, beberapa ciri bentuk penawaran investasi yang berpotensi merugikan masyarakat adalah imbal hasil di luar batas kewajaran dalam waktu singkat serta penekanan utamanya pada perekrutan. Di samping itu, kata Tongam, tidak dijelaskan bagaimana cara mengelola investasinya serta tidak jelasnya adanya struktur kepemilikan dalam usaha yang ditawarkan.

"Selain itu, kegiatan yang dilakukan menyerupai money game juga berisiko menyebabkan kegagalan untuk mengembalikan dana masyarakat yang diinvestasikan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement