REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah pusat mendukung penguatan kelembagaan tim Badan Restorasi Gambut (BRG) dengan membentuk tim kerja restorasi gambut di daerah. Di sisi lain, pembenahan dan penyesuaian regulasi antarkementerian juga terus dilakukan agar langkah BRG semakin mantap.
"Sinergi peraturan misalnya dengan Kementerian Pertanian (Kementan), ada Permentan yang menyebutkan bahwa tinggi muka air budidaya perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut itu bisa sampai 60-80 centimeter," kata Direktur Pengendalian Lahan Gambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wahyu Indraningsih, di Jakarta, Selasa (10/5).
Peraturan tersebut bertentangan dengan PP 71/2014 di mana tinggi muka air di lahan gambut harus 40 cm pada fungsi budidaya. Ia menyebut, Kementan sudah menyadari hal tersebut. Kedudukan Permen harus menyesuaikan PP sehingga segera akan dilakukan perbaikan dan penyesuaian.
Menyoal Sistem Palidiculture, KLHK menyambut hal tersebut meski tetap harus terlebih dahulu dilakukan sejumlah penyesuaian. Seperti diketahui, sistem tersebut diperkenalkan secara perdana oleh Lembaga Pangan dan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB-FAO). Sistem bertujuan mendukung penelitian dan indentifikasi pengelolaan lahan gambut berkelanjutan
Representatif FAO Indonesia Mark Smulders berkonsentrasi pada agenda restorasi gambut sebab memperhatikan sejumlah hal. "Dimulai pada 2009, Presiden Indonesia menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca nasional paling sedikit 26 persen," katanya.
Pada acara COP Paris, Indonesia juga berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen dengan usaha sendiri sampai 2030. Emisi yang timbul dari kegiatan pertanian dan pemanfaatan lahan, termasuk di dalamnya pembakaran dan degadrasi lahan gambut, berkontribusi sekitar 67 persen dari total emisi greenhouse gas (GHG) di Indonesia. Karenanya, perlu ada upaya mitigasi dalam kegiatan-kegiatan pemanfaatan lahan.
Hutan rawa gambut tropis di Indonesia dan Malaysia mencakup sekitar 25 juta hektare dan mencakup 77 persen dari total lahan gambut tropis. Pembakaran lahan gambut tidak hanya secara signifikan berkontribusi pada perubahan iklim secara global, namun juga menurunkan kualitas udara.
"Ia berdampak mengganggu kesehatan dan mengancam pembangunan ekonomi, terutama pada transportasi dan penurunan yang signifikan pada hasil-hasil pertanian," tuturnya. Pembakaran lahan gambut juga menyebarkan karbon pada glaciers atau penutup salju pada pegunungan dan mempercepat pencairan salju. Komunitas di dekat pembakaran lahan gambut juga menghadapi risiko kematian, kehilangan properti, dan menurunnya tingkat ekonomi.