REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kembali melakukan pertemuan dengan sejumlah pejabat terkait untuk mendapatkan pemaparan mengenai rancangan undang-undang (RUU) pengampunan pajak atau tax amnesty. Kali ini DPR mengundang otoritas hukum untuk menindaklanjuti kejelasan dari RUU tersebut.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah yang hadir menggantikan Jaksa Agung mengatakan, sebelum memberlakukan kebijakan tax amnesty pemerintah dan parlemen harus cermat mengenai instrumen pendukung. Karena jangan sampai kebijakan ini justru kembali gagal meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP) seperti 1984 dan 2008.
Arminsyah menjelaskan hal yang tidak kalah penting dalam penerapan tax amnesty ini adalah kesiapan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebab, lanjut dia, pada 1984 penerapan kebijakan ini gagal karena tidak diikuti dengan sistem administrasi perpajakan. Sementara pada 2008, meski terjadi peningkatan basis WP yang baru, nyatanya hal itu tidak diiringi tingkat kepatuhan WP yang stagnan.
“Ini harusnya DPJ juga perkuat di data, mereka harus memiliki data yang banyak dan akurat. Selain itu DJP juga wajib mempersiapkan secara komprehensif pembangunan sistem administrasi perpajakan yang lebih efektif,” ujar Arminsyah dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XI, Selasa (26/4).
Bukan hanya meningkatkan sistem administrasi perpajakan, DJP juga harus melakukan penegakan hukum lebih 'keras' setelah pemberlakukan tax amnesty. Sebab pemerintah harus menjadikan tax amnesty sebagai langkah akhir yang digunakan para pengemplang pajak.
“Harus diberikan sanksi yang berat bagi pengemplang pajak yang memang menghindar dari ketentuan pajak. Baik itu wajib pajak dalam negeri maupun di luar negeri,” paparnya.
Baca juga, Jokowi Jelaskan Tujuan Pengampunan Pajak.