Ahad 24 Apr 2016 19:03 WIB

Uni Eropa dan Indonesia Sepakati Skema Lisensi Ekspor Kayu

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nur Aini
Proyeksi Ekspor Kayu dan Produk Kayu: Pekerja mengangkut kayu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Kamis (12/2).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Proyeksi Ekspor Kayu dan Produk Kayu: Pekerja mengangkut kayu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, Kamis (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Uni Eropa (UE) telah menyetujui untuk mengakui dokumen legalitas kayu (V-Legal) sebagai lisensi forest law enforcement, goverment, and trade (FLEGT). Persetujuan diumumkan setelah pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Komisi UE dan Jean-Claude Juncker, dan Ketua Dewan UE Donald Tusk, akhir pekan kemarin di markas UE Brussel, Belgia.

Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Agus Justianto menjelaskan butuh waktu minimal dua bulan, bahkan lebih sebelum pengakuan V-Legal sebagai lisensi FLEGT bisa operasional. Sebab ada proses administrasi di parlemen UE.‎

Di tanah air, kata Agus, proses evaluasi implementasi sistem informasi legalitas kayu (SVLK) juga akan dilakukan, khususnya pada hal-hal yang bersifat teknis oleh Indonesia-UE. Nantinya, akan ada pembahasan dalam kelompok kerja bersama (Joint Working Group), untuk selanjutnya dibahas dalam Rapat Pakar Bersama (Joint Expert Meeting).

Jika sudah beres, maka komite implementasi bersama (Joint Implementing Commitee) akan menentukan kapan pengapalan pertama produk kayu dengan lisensi FLEGT akan dilakukan. Agus memastikan, Indonesia sepenuhnya siap untuk implementasi penuh FLEGT. Saat ini masih ada industri kecil dan menengah (IKM) yang belum memiliki sertifikat SVLK. Meski demikian, jumlahnya tinggal sedikit.

 “Pemerintah akan terus memfasilitasi. Pada ketentuan SVLK yang baru sudah ada kemudahan-kemudahan dengan biaya sertifikasi yang lebih murah bagi IKM,” kata Agus melalui siaran pers, Ahad (24/4).

Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas kayu (SILK) ada sekitar 94 IKM yang pada 2015 lalu aktif melakukan ekspor dengan menggunakan Deklarasi Ekspor, dokumen sementara bagi IKM yang belum memperoleh sertifikat SVLK.

Agus mengklaim,  SVLK telah berdampak besar dalam memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia. Disusun secara multipihak, SVLK pun sangat transparan dan akuntabel dalam implementasinya. Kondisi itulah yang akhirnya membuat pasar memberi kepercayaan.

“Informasi yang dibutuhkan untuk mengetahui sumber kayu yang dimanfaatkan tersedia,” katanya.

Bahkan SVLK kini juga dijadikan rujukan untuk komoditas lain, termasuk kelapa sawit. Menurut Agus, saat ini sertifikasi untuk sawit lestari Indonesia (ISPO), mencoba menduplikasi kesuksesan SVLK.

Sementara itu, Penasihat Teknis Senior Multistakeholder Forestry Programme (MFP), Agus Sarsito menjelaskan, persetujuan untuk menyetarakan V-Legal sebagai lisensi FLEGT diharapkan bisa melambungkan ekspor produk kehutanan Indonesia. Persetujuan itu bisa berdampak di pasar Eropa maupun di luar Eropa.

Di pasar Eropa, produk Indonesia yang tanpa uji tuntas menjadikan bebas biaya tambahan dan waktu pemeriksaan. Ini membuat importir akan lebih diuntungkan karena bisa bersaing dari sisi harga. “Sampai beberapa waktu ke depan, belum ada negara lain yang posisinya sama dengan Indonesia. Vietnam yang disebut sebagai salah satu pesaing karena sudah menyepakati FLEGT-VPA, butuh beberapa tahun lagi,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement