Ahad 03 Apr 2016 10:30 WIB

Industri Perawatan Pesawat Kekurangan Tenaga Kerja

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Sejumlah pesawat terbang milik maskapai Merpati Nusantara Airlines terparkir di Pusat Perawatan Pesawat Merpati Nusantara Airlines, Lapangan Udara Djuanda, Sidoarjo, Jawa Timur,
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Sejumlah pesawat terbang milik maskapai Merpati Nusantara Airlines terparkir di Pusat Perawatan Pesawat Merpati Nusantara Airlines, Lapangan Udara Djuanda, Sidoarjo, Jawa Timur,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Industri perawatan dan perbaikan pesawat terbang di Indonesia kekurangan tenaga kerja. Idealnya industri tersebut membutuhkan sekitar 1.000 tenaga kerja ahli setiap tahun, namun saat ini hanya mampu menyerap 300 tenaga kerja per tahun untuk 70 perusahaan Maintenance, Repairing, and Operation (MRO) Indonesia.

"Sampai 15 tahun ke depan, kami membutuhkan sekitar 12 ribu sampai 12 ribu tenaga kerja agar industri ini bisa berdaya saing," ujar Ketua Indonesia Aircraft Maintenance Services Association (IAMSA) Richard Budihadianto di Jakarta, Ahad (3/4).

Richard menjelaskan, untuk mempersiapkan tenaga ahli di bidang perawatan dan perbaikan pesawat terbang merupakan tantangan besar. Sebab, dibutuhkan waktu lima tahun untuk mencetak sumber daya manusia yang ahli di bidang industri tersebut. Apalagi, pertumbuhan industri pesawat terbang cenderung lebih cepat ketimbang pertumbuhan industri perawatan dan perbaikan pesawat. Dengan asumsi perusahaan MRO menambah kapasitas dua kali lipat dalam dua tahun ke depan, penyerapan tenaga ahli masih sekitar 40 persen.

Menurut Richard, kurangnya tenaga ahli di bidang perawatan dan perbaikan pesawat terbang membuat industri ini memiliki keterbatasan untuk memperluas kapasitasnya di dalam negeri. Oleh karena itu, Richard berharap pemerintah memberikan dukungan untuk meningkatkan jumlah tenaga ahli di bidang perawatan dan perbaikan pesawat terbang dengan mendirikan politeknik khusus aviasi.

"Tenaga kerja di bidang ini harus high skill license dan diatur dengan regulasi internasional, sehingga tidak bisa sembarangan," kata Richard.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement