REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tren penurunan harga minyak mentah secara drastis sejak pertengahan 2014 hingga menyentuh level 32 dolar AS per barel pada awal Februari 2016 telah menjadi tantangan berat bagi industri minyak dan gas bumi (migas). Indonesian Petroleum Association (IPA) mengimbau adanya perubahan paradigma seluruh pemangku kepentingan industri migas dalam menyikapi perkembangan tersebut.
“Kami menyadari pentingnya dialog di antara seluruh pemangku kepentingan untuk menemukan kesamaan pandangan. Terutama dalam menghadapi tantangan-tantangan masa depan industri minyak dan gas di Tanah Air yang semakin berat, sekaligus menemukan solusinya,” ujar Chairperson IPA CONVEX 2016 Marudut Manullang, Selasa (1/3).
Dari sisi ketahanan energi, lanjutnya, rendahnya harga minyak menyimpan tantangan jangka panjang. Menurunnya kegiatan eksplorasi dan produksi mengakibatkan cadangan minyak Indonesia tak bertambah. Sementara, harga minyak yang rendah memicu peningkatkan konsumsi.
Namun demikian, IPA sendiri mengaku cukup mengapreasiasi sejumlah kemajuan dan perbaikan yang dilakukan pemerintah selama setahun terakhir, antara lain pemangkasan perizinan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pemerintah, lanjut Marudut, juga mengeluarkan sejumlah kebijakan di sektor migas terutama kemudahan dalam pembangunan kilang.
President IPA Christina Verchere mengatakan bahwa IPA selalu siap bekerjasama dengan pemerintah untuk merumuskan dan mengimplementasikan perubahan yang diperlukan. “Kami juga berharap untuk bekerjasama dengan pemerintah dalam merumuskan inisiatif lain agar industri migas bisa tetap mempertahankan kontribusinya dalam ketahanan energi di tengah situasi yang kurang menguntungkan,” kata Verchere.