REPUBLIKA.CO.ID, LANGKAT -- Tingginya harga beras konsumen di Indonesia disebut bukan disebabkan oleh aspek produksi. Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Kementerian Pertanian Ali Jamil mengatakan, ada sejumlah hal yang menjadi penyebab besarnya disparitas harga beras petani dan konsumen.
"Harga beras konsumen di Indonesia tinggi akibat lima hal," kata Ali saat panen raya serentak di Desa Securai Selatan, Kecamatan Babalan, Langkat, Sumatera Utara, Senin (29/2).
Ali menyebutkan, lima penyebab disparitas harga ini, yaitu sistem distribusi yang belum efisien, sistem logistik belum tertata dan rantai pasok tata niaga yang terlalu panjang, yakni tujuh sampai sepuluh rantai. Selain itu, asimetri informasi pasar serta struktur dan perilaku pasar yang belum bersaing sempurna juga ikut menyebabkan tingginya harga beras di tingkat konsumen.
Akibat dari kondisi ini, pedagang menjadi pihak yang diuntungkan, sementara petani cenderung dirugikan. Petani, lanjut Ali, hanya berperan sebagai price taker dan pedagang sebagai price maker. Harga pun berfluktuasi dan cenderung naik hingga konsumen membeli dengan harga mahal dan profit margin pedagang terlalu besar.
Oleh karena itu, Ali mengatakan, Badan Urusan Logistik (Bulog) harus memperhatikan lima hal tersebut. Bulog, lanjutnya, perlu mengambil langkah untuk menstabilkan harga.
"Dengan Bulog beli gabah langsung dari petani dengan harga pembelian pemerintah (HPP) diharapkan disparitas harga tidak terlalu tinggi," ujarnya.
Ali menyebutkan, harga Gabah Kering Panen (GKP) saat ini berkisar Rp 3.800 sampai dengan Rp 4.000/kg. Sedangkan, harga Gabah Kering Giling (GKG) Rp 5.000/kg. Harga ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa efisiensi produksi beras nasional sudah cukup baik.