REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah teknologi pertanian yang diproduksi kalangan akademisi sebagian besar tidak teraplikasikan di kalangan petani. Memperhatikan hal tersebut, Pengamat Pertanian sekaligus Guru Besar Unila Bustanul Arifin menyebut, penyebab utamanya yakni kurangnya tenaga sales penyampai dan penyalur teknologi-teknologi tersebut.
"Ada problem serius di produksi, betapa banyak terputusnya inovasi dari para ahli ke petani," kata dia dalam acara Refleksi Awal Tahun Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bertajuk "Mungkinkah Mewujudkan Kedaulatan Pangan", Kamis (14/1).
Bukanlah tugas peneliti unuk juga menjadi operator dan marketer untuk peoduk teknologi yang ia buat. Jadi, masuarakat itu sendirilah, lanjut dia, yang harusnya bisa memulai menjadi penghubung antara penelitian dan dunia praktis. Lebih spesifik, masyarakat tersebut terdiri dari para aktivis organisasi.
Penyampaian teknologi pertanian ke masyarakat setidaknya membutuhkan waktu sekitar 15 tahun. Buktinya, varietas Ciherang yang dihasilkan tahun 2000 lalu masih dipakai petani dalam skala luas sampai sekarang. "Lalu ke mana hasil penelitian yang baru-baru di antara rentang waktu tersebut? Mereka tidak sampai ke petani karena tidak ada yang menghubungkan," ujarnya.
Sektor pertanian rakyat berbeda dengan produk swasta yang memiliki banyak sales komersil. Keberadaan para penyuluh pertanian pun belum banyak bisa diharapkan karena mereka lebih sibuk membuat laporan harian. Jadi, jika tidak disambungkan oleh masyarakat itu sendiri, teknologi pertanian yang seharusnya bisa membantu kesejahteraan petani malah terus berakhir mangkrang di meja penelitian.
Cara memulainya bisa melalui penggunaan teknologi informasi semisal ponsel pintar. "Kita sampaikan, teknologi pertanian membuat untung, peluang bisnis, disampaikan metodenya, pasti akan menarik," tuturnya.
Baca juga: Pemerintah Mulai Melirik Industri Kerajinan Kerang