REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konferensi Perubahan Iklim 21 di Paris pada 12 Desember lalu telah menghasilkan sejumlah kesepakatan internasional untuk menanggulangi perubahan iklim. Dalam kepesertaannya, Pemerintah Indonesia membawa prospek kerja sama dengan negara lain menyoal agenda restorasi gambut. Dalam proses negosiasi, dukungan dunia internasional mengemuka, di antaranya, dari Norwegia dan Amerika.
"Finlandia, Swedia, dan Kanada sedang dalam tahap pembahasan untuk memberikan dukungan ini," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar dalam konferensi pers, Jumat (18/12). Selain itu terjadi juga negosiasi dan kesepakatan dengan Australia untuk isu maritim atau blue carbon. Isu kehutanan juga mendapat dukungan dari Jerman, Inggris, dan Norwegia.
Siti Nurbaya mencatat sejumlah isu yang menghangat pada COP 21 Paris. Pertama terkait dengan renewable energy khususnya geothermal, solar, dan hydropower. Indonesia mencanangkan akan mencapai 23 persen energi yang dapat diperbaharui pada 2025.
Isu lainnya akan dilakukan pembenahan insentif fiskal misalnya melalui pengurangan subsidi BBM dan pembenahan sektor transportasi. Selain itu yang penting untuk diperjuangkan oleh Indonesia adalah sektor pemanfaatan lahan, kehutanan dan pertanian, di mana isu REDD diperjuangkan untuk masuk dalam skenario Paris Agreement.
Paris Agreement telah diadopsi oleh COP 21 dan merupakan milestone kemenangan seluruh negara pihak termasuk Indonesia. Apalagi, Indonesia sejak 2011 melalui Adhoc Durban Platform berupaya mendorong negara-negara di dunia mensukseskan konvensi untuk membatasi kenaikan suhu global jauh di bawah dua derajat celcius dari tingkat pre-industri.
Indonesia juga melakukan upaya untuk membatasi kenaikan hingga 1,5 derajat celcius. "Ini menjadi suatu level yang memungkinkan adaptasi ekosistem alami untuk mendukung ketahanan pangan dan pembangunan yang berkelanjutan," kata dia.