Rabu 09 Dec 2015 17:50 WIB

BSM Optimistis Hadapi 2016

Rep: fuji pratiwi/ Red: Taufik Rachman
 Karyawan menghitung uang di bangking hall Bank Syariah Mandiri, Jakarta, Selasa (17/11).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Karyawan menghitung uang di bangking hall Bank Syariah Mandiri, Jakarta, Selasa (17/11).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Bank Syariah Mandiri optimistis menghadapi 2016 dengan aneka persiapan bisnis. Di sisi lain, sebagai bank yang baru naik menjadi BUKU III, BSM juga fokus pada penguatan modal.

Direktur Keuangan dan Strategi Bank Syariah Mandiri (BSM) Agus Dwi Handaya mengungkapkan, dengan tambahan modal Rp 500 miliar dari induk, Bank Mandiri, saat ini BSM lebih percaya diri. BSM juga sedang menyelesaikan revaluasi tahun ini agar bisa menambah modal. Sebagai BUS yang baru masuk BUKU III, BSM tengah fokus pada penguatan modal yang saat ini baru Rp 5,2 triliun.

BSM optimistis kondisi 2016 lebih baik dari 2015. Isu kenaikan sukuk bunga Bank Sentral AS (FFR) yang sudah sejak 2013 dan belum terealisasi hingga mendekati akhir 2015 ini diyakini sudah cukup membuat semua pihak siap jika FFR akhirnya benar-benar naik di akhir 2015 ini. Sama seperti kebanyakan pelaku industri lain, BSM juga mengharapkan belanja pemerintah tahun depan bisa cepat bergulir.

Agus Dwi melihat pertumbuhan BSM di 2015 ini sekitar lima persen. Di 2016, kemungkinan pertumbuhan BSM di kisaran 10 persen.

Dana pihak ke tiga tahun depan pun diupayakan bisa mencapai sekitar Rp 9 triliun dengan komposisi Rp 6 triliun dikontribusikan dana murah dan sisanya deposito. Dengan dana murah Rp 6 triliun, ia melihat sekitar Rp 3-4 triliun bisa ditempatkan dalam sukuk.

Pembiayaan 2016 kemungkinan sekitar Rp 5-7 triliun. Di sisi segmen, BSM ingin 65 persen pembiayaan di segmen ritel dalam jangka menengah dan panjang dari saat ini 56 persen dan masih banyak di korporasi.

Di ritel, BSM membidik target pasar di mikro yang besar pembiayaannya Rp 100-200 juta dengan tetap selektif. BSM mengembangkan tiap daerah punya target pasar spesifik pula.

BSM juga menyasar pembiayaan konsumer untuk nasabah yang memiliki payroll di BSM seperti PNS dan badan usaha, termasuk nasabah base on value chain seperti  perusahaan besar yang mempunyai plasma. Pensiunan juga akan dilirik BSM untuk menawarkan opsi jasa syariah.

Dorongan pembiayaan tahun depan penting agar rasio pembiayaan terhadap pendanaan (FDR) BSM terjaga. Ia melihat FDR yang baik ada di level 90 persen dan saat ini 80-82 persen. Pola kerja sama dengan Grup Mandiri baik dengan induk maupun sesama entitas anak juga dijalankan.

''Kami akan bekerja sama dengan anak usaha pembiayaan milik induk (Bank Mandiri). Kami sedang siapkan sistemnya, mungkin baru bisa jalan tahun depan. Tapi ini tidak lewat induk, inisiatif entitas anak,'' kata Agus Dwi.

Setelah sebelumnya melakukan penempatan tersendiri (private placement) dalam sukuk berbasis proyek (PBS) 010 yang diterbitkan pemerintah sebesar Rp 1 triliun, BSM kembali menambah Rp 1 triliun. Jika penempatan Rp 2 triliun dalam PBS bisa diperhitungkan sebagai bagian pembiayaan oleh regulator, Agus Dwi menyatakan NPF BSM bisa membaik.

''Penempatana di PBS juga membuka jalan bagi perbankan syariah untuk membantu pembangunan melalui proyek produktif,'' kata Agus Dwi.

Di sisi imbal hasil, PBS juga instrumen menarik. Dibanding sertifikat Bank Indonesia syariah (SBIS) dengan nisbah 5,5 persen dan tidak produktif karena hanya cadangan likuiditas, nisabah PBS tiga persen lebih tinggi dan sifatnya produktif.

BSM juga masih mempertimbangkan soal penerbitan subdate tahun depan karena mereka memiliki subdate Rp 500 miliar yang jatuh tempo Oktober 2016. Mempertimbangkan harga, kata Agus Dwi, BSM cenderung memilih suntikan dana dari induk.

Soal produk baru seperti produk lindung nilai (hedging) yang dibutuhkan nasabah seperti penyelenggara haji dan umrah, Agus Dwi mengaku belum bisa berkomentar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement