REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Asosiasi petani menuntut kejelasan pemerintah dalam mendukung program penanaman kembali (replanting) areal perkebunan kelapa sawit yang sudah kurang produktif atau usia tanam 25 tahun ke atas. Mereka menyayangkan kebijakan pemerintah yang memuluskan program biodiesel, namun terkesan menarik ulur replanting yang menjamin produksi sawit masa depan.
“Ada 200 ribu hektare (ha) perkebunan sawit berstatus inti rakyat atau plasma yang harus di-replanting,” kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (AspekPIR) Riau, Setiyono kepada Republika.co.id di Nusa Dua, Bali, Jumat (27/11).
Riau yang merupakan produsen sawit rakyat terbesar di Indonesia memiliki luasan kebun plasma 134 ribu ha. Sebanyak 56 ribu ha di antaranya harus ditanami kembali. Setiyono mengatakan pihaknya bahkan sudah mengajukan daftar koperasi perkebunan yang siap melakukan penanaman ulang.
“Kami sudah ajukan. Kendala teknis sebetulnya ada di internal mereka (BPDP),” ujar Setiyono.
Pemerintah pusat melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) memberlakukan skema pungutan dana sawit (CPO fund) dari petani dan pengusaha kelapa sawit. Besaran pungutan adalah 50 dolar AS per ton CPO yang diekspor. Dana tersebut dibayarkan ke rekening khusus yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Kepala BPDP, Bayu Krisnamurthi mengatakan CPO fund yang terkumpul dalam empat bulan terakhir mencapai empat triliun rupiah. Menurutnya, sekitar Rp 507 miliar dari dana tersebut akan disalurkan untuk menyubsidi 223 ribu kiloliter (kl) biodiesel. Anggaran subsidi yang sudah ditagihkan mencapai Rp 285 miliar.
“CPO fund sangat mendukung program biodiesel dalam rangka mandatori B15 tahun ini dan B20 tahun depan,” kata Bayu terpisah.
Bayu mengatakan replanting menjadi salah satu priotitas penyaluran CPO fund. Namun, realitas kegiatan tersebut di lapangan tak mudah. Petani sangat bersemangat melakukan replanting, namun mereka harus memastikam perkebunan mereka berdiri di atas lahan yang clear and clean.
(Mutia Ramadhani)