Rabu 25 Nov 2015 05:35 WIB

Sindrom 'Mangkuk Bakmi' Melanda Dunia, Indonesia Harus Bersiap Diri

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nidia Zuraya
Pembangunan ekonomi Indonesia
Foto: ANTARA
Pembangunan ekonomi Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia harus bersiap memosisikan diri di tengah menjamurnya sindrom "Mangkuk Bakmi" alias The Noodle Bowl Syndrome. Sindrom jenis ini tengah hangat dibahas kalangan pakar hubungan Internasional dan geopolitik. 

Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) Christianto Wibisono menjelaskan, sindrom tersebut lantaran terjadinya fenomena pengelompokkan regional blok perdagangan bagaikan mangkok bakmi aneka rasa. "Ia berpotensi membuat konsumen sakit perut kalau dicampur aduk tidak keruan," katanya pada Opening Remark bertajuk "What is TPP and Why Indonesia Business Should Know" di Jakarta, Selasa (24/11).

November 2015, lanjut dia, merupakan bulan tersibuk bagi presiden, perdana meneri dan menteri kabinet dari negara-negara terpenting dunia karena berlangsungnya KTT back to back dari tiga organisasi lintas kawasan, yakni G-20, APEC dan ASEAN Plus. Mereka berperan penting bagi eksistensi ekonomi dunia. Presiden berbagi agenda dengan Wapres Jusuf Kalla ke G20 dan ke APEC. 

Kawasa Asia Pasifik yang resminya sudah punya wadah APEC terancam gejala pecah jadi dua atau tiga dengan lahirnya TPP di bawah Amerika Serikat. Presiden Putin, kata dia, mengkritik TPP sebagai persetujuan "rahasia" yang mendiskriminasi. 

Rusia pun ingin kembali ke APEC yang bersatu dan melebarkan sayap ke Eurasia dengan memprakarsai Eurasian Economic Union (EaEU) yang mengacu pada Uni Eropa (Barat). EaEU merupakan aliansi negara-negara Asia Tengah yang bertumpang tindih dengan Shanghai Cooperation Organization semacam NATO versi Cina-Rusia. 

Saat ini, menurut Christianto, bukan lagi zamannya perang dingin AS Barat vs Uni Soviet komunis, tapi sudah memasuki era kompetisi ekonomi. "Jadi organisasi yang hanya "berpolitik retorika" tanpa "otot kekuatan ekonomi" tidak akan punya gigi," ucapnya.

Cina, lanjut dia, mewujudkan retorika membangun One Belt One Road (OBOR) alias Satu Sabuk Satu Jalur dengan mendirikan dua bank yakni BRICS Development Bank dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Langkah tersebut memicu pengakuan IMF terhadap posisi Yuan sebagai mata uang cadangan ke lima setelah dolar AS, yen, euro dan poundsterling.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement