Kamis 03 Oct 2024 18:03 WIB

Deflasi Mirip Kondisi Krisis, Airlangga: Tak Perlu Khawatir

Airlangga menilai perekonomian di Indonesia masih dalam kondisi yang baik-baik saja.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Foto: Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat P
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berbicara mengenai kondisi deflasi yang telah terjadi dalam lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Sejumlah ekonom menilai kondisi deflasi ini merupakan hal anomali. Bahkan, ada yang menyebutnya mirip kondisi krisis.

Kendati demikian, meski terjadi deflasi yang cukup panjang, Airlangga Hartarto menilai perekonomian di Indonesia masih dalam kondisi yang baik-baik saja.

Baca Juga

"Kita harus melihat secara keseluruhan. Inflasi itu dikendalikan terutama yang volatile food. Jadi kalau sekarang volatile food-nya kita tekan turun ya tentu ini baik untuk masyarakat," kata Airlangga saat ditemui usai acara Implementasi Reformasi Birokrasi di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2024).

Airlangga menjelaskan, komponen inflasi terdiri dari dua komponen, yakni inflasi inti (core inflation) dan volatile food. Dia menyebut, komponen volatile food adalah yang terpenting untuk dijaga agar daya beli masyarakat kuat. Adapun yang menjadi sorotan sejatinya bukan inflasi secara keseluruhan, melainkan inflasi inti.

Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi September 2024 tercatat deflasi sebesar 0,12 persen (mtm), sehingga secara tahunan menurun menjad8 1,84 persen (yoy) dari realisasi bulan sebelumnya sebesar 2,12 persen (yoy). Secara tahunan, inflasi inti September 2024 tercatat 2,09 persen (yoy), meningkat dari inflasi bulan sebelumnya 2,02 persen (yoy). Sedangkan kelompok volatile food mengalami inflasi 1,43 persen (yoy), menurun cukup dalam dari inflasi bulan sebelumnya 3,04 persen (yoy).

"Yang kita lihat untuk pertumbuhan namanya core inflation, nah core inflation-nya tetap naik, dan itu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi karena menjadi anomali kalau tumbuhnya naik terus core inflation-nya turun. Sekali lagi, jadi yang dibandingkan bukan inflasi keseluruhan tapi core inflation," jelasnya.

Lebih lanjut, Airlangga mengungkapkan kondisi inflasi saat ini yang jauh lebih terjaga di kisaran 2,5 plus minus 1 persen dibandingkan dengan tingkat inflasi pada satu dekade yang lalu, atau saat Presiden Joko Widodo mulai menjadi RI 1.

"Di tahun 2014 inflasi kita 8 persen. Kalau kita bandingkan dengan sekarang yang sudah 2,11 (persen) itu kan turun jauh," ujar dia.

photo
Pedagang beras melayani pembeli di salah satu kios di kawasan Pasar Rumput, Jakarta, Senin (3/6/2024). - (Republika/Prayogi)

"Konsekuensi kalau inflasi tinggi itu tingkat suku bunga akan tinggi atau cost of fund akan tinggi, sehingga kalau kita bandingkan dengan 2014 saat Bapak Presiden mulai menjadi Presiden, suku bunga kita double digit antara 12-18 persen, tetapi hari ini kita KUR 6 persen, SPI juga sudah di 6 persen, sehingga suku bunga yang prime itu sudah single digit. Jadi artinya justru ini mengurangi fat daripada ekonomi biaya tinggi," ungkapnya melanjutkan.

Airlangga memastikan inflasi akan tetap terjadi di angka target 2,5 plus minus 1 persen sesuai dengan amanat Undang-Undang APBN. Sejauh ini, dia menekankan tingkat inflasi masih aman sehingga tidak perlu ada kekhawatiran atas data deflasi yang terjadi dalam lima bulan terakhir.

"Ini within the rate, jadi kita tidak khawatir, karena kita liat juga indikator lain apa terhadap ekonomi, indeks keyakinan konsumen masih positif, kemudian cadangan devisa kita kalau ekonomi tidak bergerak kan tidak nambah juga cadangan devisanya," tutur dia.

Apalagi, lanjut Airlangga, Indonesia baru melakukan pengaturan devisa hasil ekspor yg terbukti bisa mempertahankan jumlah dolar di dalam negeri. Karena upaya itu, dia menekankan cadangan devisa bisa meningkat, hingga 50 persen dibandingkan besaran pada awal kepemimpinan Jokowi.

"Sehingga pada saat Bapak Presiden di 2014 kita punya cadangan devisa hanya 100 miliar (dolar AS), tetapi sekarang sudah 150 miliar (dolar AS). Dan rupiah baru beberapa waktu yang lalu semua tidak ada yang percaya rupiah bisa kita tekan ke angka level sekarang Rp15.300 (per dolar AS). Kemudian IHSG, kita sudah melihat bisa tembus 8.000," terangnya.

"Jadi itu membuktikan bahwa ekonomi bergerak," tegasnya.

Deflasi berturut-turut mirip kondisi krisis (halaman berikutnya)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement